FAKTA-FAKTA PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DAN TATA TERTIB DPR OLEH PANSUS DANA YANATERA BULOG DAN SUMBANGAN SULTAN BRUNAI
Pansus Dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Sultan Brunai telah melakukan beberapa pelanggaran UU dan Tata Tertib DPR, dan tidak mematuhi wewenang dan tugasnya untuk hanya mencari dan menyajikan fakta. Khusus untuk hal yang terakhir, dihalaman 6 Laporan Pansus kepada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 Januari 2001, tertulis bahwa :
Pengertian penyelidikan yang dilakukan oleh Pansus adalah : "Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pansus penyelidikan terhadap penggunaan dana milik Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunai Darussalam untuk mengumpulkan segala fakta dan dokumen yang berkaitan dengan kasus Bulog dan Brunai Darussalam dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan DPR-RI"
Hasil analisis terhadap laporan kerja pansus menunjukan bahwa, ternyata hanya 31,94% dari penyelidikan pansus yang berupa fakta. Sedang 37,50% masih berupa keterangan yang harus diverifikasi untuk bisa menjadi fakta, dan 31,94% sisanya berupa analisis dan kesimpulan,yang sama sekali bukan merupakan tugas dan wewenang Pansus.
Di bawah ini adalah daftar pelanggaran UU dan Tata Tertib DPR yang telah dilakukan oleh Pansus. Pelanggaran terhadap UU No. 6/1954 tentang hak angket DPR
-
UU No. 6/1954 Tentang Hak Angket DPR pasal 2 ayat 1
berbunyi "Putusan selengkapnya termaksud dalam ayat (2)
pasal 1 diumumkan dengan resmi dalam Berita Negara, sesuai
dengan risalah Dewan Perwakilan Rakyat yang
bersangkutan". Pansus tidak langsung mendaftarkan keberadaannya untuk secara hukum dicatat dalam lembaran berita negara. Setelah menjalankan kegiatan selama tiga
bulan, baru keberadaan Pansus terdaftar dalam lembaran
berita negara No. 95 dan 96, yaitu pada tanggal 30 November
2000.
-
Pelanggaran terhadap UU No. 6/1954 terjadi karena DPR
tidak pernah menentukan anggaran Pansus kepada pleno DPR.
Padahal menurut pasal 29 berbunyi : "Rapat pleno DPR
menentukan jumlah biaya angket untuk satu tahun anggaran;
jumlah itu dicantumkan dalam mata anggaran Belanja DPR".
Selama ini DPR tidak pernah membahas dan memutuskan beberapa
anggaran yang dibutuhkan oleh Pansus.
-
Pelanggaran lain terhadap UU No. 6/1954 adalah bahwa
Pansus tidak pernah sama sekali melibatkan pihak Pengadilan
Negeri. Hal ini berkaitan dengan pemanggilan para saksi dan
ahli-ahli. Pasal 3 UU No. 6/1954 berbunyi "Saksi-saksi
dan ahli-ahli datang kepada Panitia Angket, baik dengan
sukarela atas panggilan tertulis maupun karena dipanggil
dengan perantaraan Juru Sita". Pasal 8 ayat 2 UU
No.6/1954 menentukan terhadap seorang saksi atau ahli yang
dipanggil oleh Juru Sita tetapi tidak datang maka dibuat
berita acara dan ditandatangani oleh Panitia Angket, atau
oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam hal tertentu yang diatur
dalam pasal 7 ayat (3). Maka semenjak awal Panitia Angket
berdasarkan UU No. 6/1954 harus melibatkan Pihak Pengadilan
Negeri. Namun sejak proses pembahasannya, pansus belum pernah
melibatkan pihak-pihak Pengadilan Negeri, terutama ketika
Pansus memanggil para saksi-saksi dan para ahli-ahli.
Pelanggaran terhadap UU No. 4/1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
- Pasal 38 UU No. 4/1999 tentang Susunan dan kedudukan
MPR, DPR dan DPRD berbunyi "Anggota MPR, DPR dan DPRD
tidak dapat dituntut dimuka Pengadilan karena pernyataan
dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat MPR,DPR dan
DPRD, bauik secara terbuka maupun tertutup, yang diajukan
secara lisan ataupun tertulis, kecuali jika yang
bersangkutan mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat
tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh
ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam Buku
Kedua bab I KUHP". Padahal selama ini beberapa anggota
Dewan terutama Anggota Pansus telah membocorkan secara
sengaja keterangan saksi atau nara sumber kepada publik.
Padahal rapat-rapat Pansus dinyatakan tertutup (sebagaimana
diatur dalam UU No. 6/1954 tentang hak angket DPR, pasal
23). Jauh-jauh hari, pada tanggal 4 Desember 2000, Sdr.
Rodjil Gufron dari F-KB telah mengirim surat kepada Ketua
Dewan untuk mengingatkan adanya pembocoran secara sengaja
hasil rapat tertutup Pansus yang dilakukan oleh anggota
Pansus. Tapi sampai sekarang Ketua Dewan sama sekali tidak
mengambil tindakan hukum. Pelanggaran terhadap Tata Tertib
DPR-RI.
- Tata Tertib DPR RI pasal 153 ayat 1 berbunyi "Dalam
Rapat Paripurna yang telah ditentukan, para pengusul
memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan usul
mengadakan penyelidikan dan Rancangan Biayanya". Dan
pasal 153 ayat 2 berbunyi "Rapat Paripurna memutuskan
untuk menyetujui atau menolak usul tersebut". Selama
ini Pansus tidak pernah mengusulkan dan menyampaikan
Rancangan Biaya kepada anggota DPR dalam Rapat Paripurna.
Karena tidak pernah ada usulan dari Pansus maka tidak ada
keputusan menerima ataupun menolak terhadap rancangan
Pansus.
Menurut tata tertib ini, DPR juga melakukan pelanggaran.
Pasal 153 ayat 1 berbunyi "Keputusan DPR untuk mengadakan
penyelidikan menentukan juga biaya Panitia Khusus". Ayat
3 berbunyi "Keputusan DPR, sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dan ayat 2, disampaikan kepada Presiden". DPR
sampai sekarang belum pernah membahas, mengusulkan dan
memutuskan anggaran biaya untuk Pansus , apalagi
menyampaikan kepada Presiden.
Pelanggaran berat juga dilakukan oleh Pansus terhadap
Tata Tertib DPR-RI. Menurut pasal 156 ayat 1, berbunyi
"Panitia Khusus memberikan laporan secara tertulis secara
berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan kepada Pimpinan
DPR, dan laporan tersebut dibagikan kepada anggota dan
disampaikan kepada Presiden". Menurut ayat 2 dari pasal
yang sama, berbunyi "Atas usul sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang anggota, laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan dalam Rapat Paripurna,
kecuali apabila Badan Musyawarah menentukan lain".
Pelanggaran berat ini terjadi karena sampai selesainya
laporan akhir, Pansus tidak pernah melaporkan kepada
Pimpinan DPR ataupun kepada anggota, dan juga tidak pernah
memberi laporan tertulis kepada Presiden.
- Pansus juga melakukan pelanggaran berat terhadap Tata
Tertib DPR RI sebagaimana pasal 157 yang berbunyi
"Setelah selesai dengan pekerjaannya, Pansus memberikan
laporan tertulis kepada DPR dan laporan tersebut dibagikan
kepada anggota dan kemudian dibicarakan dalam Rapat
Paripurna untuk diambil keputusan akhir, kecuali apabila
Rapat Paripurna itu menentukan lain". Sampai dimulainya
Rapat Paripurna tanggal 29 Januari 2001, Pansus belum
membagikan laporan akhirnya kepada anggota Dewan. Padahal
sebelum DPR melaksanakan Rapat Paripurna, Pansus sudah harus
terlebih dahulu memberikan laporan akhirnya.
Demi tegaknya hukum, maka laporan Pansus harus dibatalkan
dan mengenai Pansus sendiri juga harus dibatalkan dan mulai
lagi dari awal dengan mentaati semua UU dan tata tertib DPR,
serta tidak melenceng dari tujuannya untuk sekedar mencari dan
menyajikan fakta. Akan tetapi kenyataan ternyata berbicara
lain. DPR mengesampingkan kebenaran hukum dengan jalan
mempraktekan kediktatoran mayoritas untuk menggolkan hasil
temuan Pansus melalui voting. Kenyataan ini menunjukan bahwa
tujuan Pansus bukanlah untuk menegakan hukum dan menciptakan
pemerintahaan yang bersih, tapi semata-mata untuk menjatuhkan
Presiden. Perlu diketahui publik bahwa DPR pada pertengahan
tahun 2000 menolak usulan pembentukan Pansus Dana Nonbudgeter
Bulog yang melibatkan dana trilyunan rupiah dan para pelakunya
masih belum ditindak secara hukum. Pada saat yang sama DPR
malahan menerima usulan membentuk Pansus Dana Yanatera Bulog
yang melibatkan dana jauh lebih kecil dan para tertuduhnya
(Suwondo dan Sapuan) sedang diproses secara hukum.
Memorandum Tidak Memiliki Dasar Hukum
Memorandum seakan-akan menjadi target awal sejak Pansus
Dana Yanatera Bulog dan pansus Sultan Brunai Darussalam ini
dibentuk. Padahal hasil momerendum kepada Presiden Abdurahman
Wahid tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Menurut
ketentuan hak penyelidikan (Angket) dalam peraturan tata
tertib DPR tidak ada satu pasalpun yang menyebut peringatan
kepada Presiden berupa memorandum. Sebagaimana isi pasal 57
ayat (2). "Keputusan akhir atas laporan Panitia Khusus
tersebut disampaikan kepada Presiden". Tidak lebih dari
itu. Pasal ini menegaskan bahwa laporan Pansus tidak bisa
dibuat dasar untuk mengeluarkan peringatan (memorandum) kepada
Presiden.
Memorandum (peringatan) itu justru bisa digunakan hak
meminta keterangan kepada Presiden (interplasi). Sebagaimana
pasal 199 peraturan tata tertib DPR, anggota yang tidak puas
atas keterangan Presiden dapat mengajukan usul pernyataan
pendapat yang diatur dalam pasal 159-165. Seperti penjelasan
dalam pasal 165 ayat (1) :"Hasil keputusan DPR mengenai pernyataan pendapat, dapat berupa pernyataan pendapat DPR
terhadap kebijakan pemerintah, peristiwa luar biasa yang
terjadi di tanah air berikut saran dan penjelasannya, sampai
dengan peringatan kepada Presiden (memorandum) apabila DPR
menganggap Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara
". Oleh karena itu jelas bahwa keputusan memorandum DPR
setelah menerima laporan Pansus Yanatera Bulog dan Bantuan
Sultan Brunai Darusalam, sekali lagi tidak tepat dan tidak
memiliki dasar konstitusinya.
Pansus Melenceng Dari Wewenangnya
Laporan akhir Pansus yang disampaikan kesidang Paripurna
DPR, menunjukan dua kesimpulan. Pertama, Presiden
Abdurrahman Wahid diduga berperan dalam pencairan dan
penggunaan dana Yanatera Bulog. Kedua, Presiden
Abdurrahman Wahid inkosisten dalam pernyataannya mengenai
aliran dana dari Sultan Brunai Darussalam. Padahal dalam hukum
dikenal "asas praduga tak bersalah",seorang
baru dinyatakan bersalah kalau sudah ada putusan pengadilan
yang berkekuatan tetap. Kasus yang ditangani Pansus Yanatera
Bulog dan bantuan Sultan Brunai Darussalam terkait dengan
tindak pidana korupsi. Tetapi kesimpulan Pansus yang menyebut
" diduga berperan " telah menyalahi dan melanggar asas
praduga tak bersalah. Mestinya sebelum Pansus memutuskan
dugaan tersebut harus diklarifikasi lebih dulu, dalam artian
dibuktikan terlebih dahulu oleh putusan hakim.
|