HASNI'S POLITIC OPINION  

 

K e b e n a r a n  ,  K o r e k s i  a t a s  N u r a n i  P a n s u s

 


Meragukan Nurani DPR


Skandal Bulog/Brunei telah mengharu biru bangsa ini setelah Pansus bergerak. Tapi saya meragukan DPR, apakah benar-benar ingin menegakkan supremasi hukum dan memberantas KKN ?

Gegap gempita anggota DPR kini memang tampak hebat, sampai-sampai ada orang yang dulunya banyak dihujat karena merupakan bagian dari penguasa lama -- yang ikut andil dalam perusakan sistem ekonomi, politik dan sosial bangsa -- dengan dicuatkan skandal B&B tiba-tiba seolah-olah berubah wujud menjadi sosok pahlawan rakyat nan bersih dan jujur.

Ketua DPR Akbar Tandjung yang juga Ketua Umum Golkar, yang partainya berperan kuat merusak sistem ekonomi politik, dan sosial negara ini, seolah-olah dilupakan rakyat, dan berbalik menjadi "Pahlawan Rakyat Pemberantas KKN."

Tanpa malu-malu Akbar pun sering berkoar-koar menyatakan tekad dirinya untuk memberantas KKN, mengkritik pemerintahan Gus Dur yang katanya gagal memperbaiki ekonomi negara. Padahal yang merusak ya Golkar sendiri. Sedemikian rusak sehingga sulit untuk diperbaiki seperti sekarang. Bahkan mengangkat kasus Estrada dari Filipina sebagai contoh terdekat akibat dari Presiden yang korup. Padahal contoh yang terdekat bukan itu, melainkan apa yang telah dilakukan oleh bosnya sendiri yang bernama Soeharto. Dibandingkan dengan Estrada, baik dari segi waktu maupun besarnya jumlah uang, Estrada tidak ada apa-apanya. Bagaikan kacang ijo dibandingkan buah kelapa.

Sedemikian hebatnya aksi DPR ini sehingga kasus-kasus besar yang melibatkan Golkar dan Keluarga Cendana pun seolah tenggelam dan hilang begitu saja. Kasus korupsi ratusan miliar sampai triliun rupiah yang diduga kuat melibatkan orang-orang Orde Baru/Golkar dan kroninya seolah-olah terhapus bersih oleh kasus yang dikatakan diduga melibatkan Gus Dur yang jumlahnya "hanya" puluhan miliar.

Ketika saya menyinggung ini di Tempo Interaktif, ada yg mengkomentari bahwa saya ini telah menaifkan moral yg seharusnya dipunyai oleh seorang pimpinan bangsa. Sehingga menaifkan kasus skandal Bulog dan Brunei dengan membandingkannya dengan kasus-kasus yg melibatkan orang-orang Golkar/Orba itu. Katanya, kita tidak harus hanya melihat dari aspek besar-kecilnya jumlah uang, tetapi bagaimana moral yg telah dilanggar oleh seorang pemimpin.

Tanggapannya ini telah memvonis Gus Dur benar-benar telah bersalah. Padahal putusan rapat paripurna DPR itu menggunakan terminologi "diduga terlibat". Pertanyaannya adalah apakah seseorang yang baru "diduga" bisa dijatuhkan suatu sanksi atau peringatan keras (baca: memorandum) kepadanya ? Yang namanya "diduga" belum tentu tuduhan itu benar, atau tidak. Bagaimana bisa sesuatu yang belum tentu itu bisa divonis sedemikian rupa yang sifatnya pasti (diberi memorandum) ?

Kalau mau bicara soal moral yang harus diemban oleh seorang Presiden sebagaimana disinggung di atas, kita sekarang seolah-olah lupa pula menilai bagaimana pula moral para anggota DPR yg sudah tidak menghormati Presiden dengan menggunakan kalimat-kalimat yang vulgar dalam acara pertemuannya di gedung DPR tempo hari. Seolah-olah semakin mereka bisa memaki Presiden, mereka menjadi semakin bangga. Rasa hormat kepada institusi Presiden seolah-olah tidak ada lagi.

Apabila mereka benar-benar hendak menegakkan supremasi hukum dan memberantas KKN, bukankah ada cara-cara yang lebih santun sesuai dng prosedur hukum, maupun aturan-aturan ketatanegaraan yang ada ? Bagaimana bisa kita yakini maksud mereka adalah murni, kalau mereka malah melanggar komitmen mereka sendiri dengan terus membocorkan hasil pertemuan dengan beberapa saksi kedua skandal itu, dan juga pertemuannya dengan Presiden ? Padahal apa yang mereka lakukan itu sudah tergolong membocorkan rahasia negara, yang selain melanggar UU No. 4/1999, juga melanggar KUHP ?

Ketika ada yang mengatakan, atau curiga bahwa manuver politik anggota DPR itu diotaki oleh kekuatan Orde Baru/Golkar untuk menjatuhkan Gus Dur, akan ada reaksi yg mengatakan bahwa tuduhan/rasa curiga itu sama saja dengan apa yang dipraktekkan oleh pemerintah Orde Baru dulu. Saat itu, Orba sedikit-sedikit menuduh orang PKI bila tak sependapat dengan pemerintah.

Tetapi, sebenarnya ada perbedaannya. Coba kita lihat, bagaimana orang-orang DPR itu selama ini hanya diam ketika kasus-kasus mega korupsi yang melibatkan kekuatan Orde Baru menonjol satu persatu. Mereka baru ribut luar biasa ketika menemukan skandal Bulog dan Brunei yang mereka simpulkan diduga melibatkan Gus Dur. Ujung-ujungnya minta diadakan SI MPR.

Jadi, sebenarnya ada alasan rasa curiga kekuatan Orba/Golkar berada dibaliknya. Tidak seperti pemerintahan rezim Soeharto yang asal tuduh org PKI, tanpa ada latar belakang yang kuat.

Coba kita simak sedikit dari sekian banyak mega skandal yang diduga kuat melibatkan orang-orang Golkar, yang dicuekin oleh orang-orang DPR itu. Jangan hanya skandal Buloggate-Bruneigate, tapi semua dana non budgetter harus diungkap. Jangan sampai ketika pemerintah Gus Dur bereaksi untuk membukanya, malah kita tidak dengar adanya dukungan dari mereka (DPR). Skandal itu antara lain :

  • Penyalahgunaan dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 166 miliar oleh Mbak Tutut serta anak dan keponakan Bustanil Arifin;
  • Keterlibatan mantan Kabulog Beddu Amang dalam kasus tukar bangun aset Bulog sebesar Rp 76,7 miliar;
  • Kasus korupsi di Kostrad sebesar Rp 189 miliar di zaman Letjen TNI Djaja Suparman yang dibongkar oleh Letjen TNI Agus Wirahadikusuma. DPR pernah diminta untuk membentuk Pansus guna mengusut kasus ini, tetapi langsung ditolak;
  • Skandal Bank Bali sebanyak Rp 546 miliar yg melibatkan orang-orang BJ Habibie dan Golkar;
  • Skandal BLBI sebesar Rp 144 triliun (yg telah diaudit PwC dari total Rp 700 triliun).

Jadi, sekali lagi, pertanyaan yang perlu dijawab: Apakah benar DPR dan Pansusnya itu sungguh-sungguh obyektif dan sejujurnya menurut nuraninya hendak menegakkan supremasi hukum dan memberantas KKN di negara ini ?

* Penulis adalah warga negara yang peduli pada nasib bangsa.

 

 

Back