Pagi itu, Pardi tidak tampak, pada acara majlis kedai kopi Cak San. Mereka sedang berdiksi tentang siapa, bagaimana dan seperti apa seorang wali Allah itu. Sebab di masyarakat sedang berkembang isu yang miring, kalau ada seorang putra kiai (Gus, dan maksudnya bukan Gus Dur) yang aneh atau seorang kiai yang dipanggil Gus punya perilaku aneh-aneh, langsung diklaim sebagai Wali. Sedikit-sedikit orang dikatakan Wali dan masyarakat saling mendukung, tapi di lain pihak juga ada yang kontra. “Bukan! Dia itu bukan Wali…” kata Kang Soleh menunjuk sebuah nama yang sering disebut Gus oleh masyarakat kampung itu.
“Lalu, dia itu kok hebat Kang?” tanya Dulkamdi.
“Iblis saja hebat kok. Jin juga hebat, bahkan Jin pernah ikut sayembara memindah istana Bilqis ke dekat Istana Sulaiman, walau pun dalam sandiwara itu ia kalah dengan Barkhaya, teman Sulaiman yang juga Waliyullah.”
“Jadi…wakh…kita bisa teripu oleh kehebatan seseorang, dong!” Apalagi masyarakat kita seringkali membuat klaim, bahwa yang didukung umat itu mesti benar dan yang tidak didukung itu salah. Padahal kebenaran itu tidak perlu dukungan. Kebenaran kadang-kadang didukung oleh mayoritas, kadang-kadang tidak punya dukungan sama sekali. Kebatilan juga begitu, kadang-kadang didukung mayoritas kadang-kadang tidak mendapat dukungan sama sekali. “Assalamu’alaikuuuuummm…..!” “Wa’alaikumusalaaaammmm….!” “Wah, darimana kamu ini Di, kok baru nongol, tanya Kang Soleh pada Pardi yang baru saja tiba dengan nafas ngos-ngosan. Dalam tulisan ini, saya akan membuka kembali sejarah seorang wali besar yang bernama Abu ’Ali Fudhail Ibn Iyadh (723-803M.). Di mana perjalanan spiritualnya cukup menarik untuk dikaji dan dijadikan pelajaran berharga bagi para pendosa yang ingin mendapat ampunan dan keridaan-Nya. Kita tidak usah heran. Sebab, apa yang ada di dunia ini serba mungkin. Bila ada seorang maling menjadi wali, mengingat rahmat Allah lebih luas daripada murka-Nya. Menurut sejarah atau biografi para sufi, perjalanan spiritual Fudhail Ibn Iyadh boleh dibilang sangat menarik dan cukup mengagumkan. Penting kita gali nilai-niali etik dan moral dari beliau guna melahirkan kesadaran untuk berbuat dan melangkah ke arah yang lebih baik agar kita mendapat rezeki rohani berupa kesadaran dan pengertian tentang makna dan arti kehidupan, sehingga mampu menjadi orang yang berperilaku arif dan bijak. “Begini Kang, saya tadi naik dokar. Wah, kusirnya antik, Kang. Pokoknya ceritanya panjang sekali. Kesimpulannya begini, saya kira kusir itu pasti hebat kesufiannya. Kalau saya ceritakan bisa berhari-hari baru selesai…” “Bagaimana ceritanya…” “Pokoknya hebatlah!” “Minum kopi dulu Di, minum kopi…” “Ya..ya…. Saya belum pernah jumpa kusir kuda itu. Kebetulan penumpangnya hanya saya. Dia cerita tentang filsafat dokar, roda dokar, kuda dan kendalinya, bahkan ketukan-ketukan kaki kuda, sampai jumlah ketukan dalam sekian langkah kuda. Semuanya mengandung filosufi kehidupan yang dalam. Karena itu si kusir itu menikmati betul sebagai kusir selama bertahun-tahun…” “Menurut kamu bagaimana kehidupan kusir itu?” “Lha, si kusir itu pikirannya modern seperti profesor Kang. Dia bisa bicara soal internasional, soal ekonomi dunia, sampai soal politik dalam negeri. Dia juga tahu detil bagaimana strategi perang laut dan gerilya darat. Bahkan yang aneh lagi, Pak kusir ini beristri tiga dan anaknya dua puluh enam Kang. Hebat nggak. Betul-betul hebat.” Kang Soleh tercengung mendengar cerita Pardi itu. Tiba-tiba airmatanya meleleh, giginya menekan-nekan menahan keharuan atas kisah nyata itu. Pardi pun akhirnya juga turut menangis. “Dia telah berhasil mengendalikan dunia, telah sukses mengendalikan nafsu, telah sampai pada tujuan sebenarnya. Dan dia selalu berhasil mengendalikan kuda nafsunya, menjalankan roda dokar zikrullahnya. Subhanallah…!” Penulis adalah Dosen dan Konsultan Tasawuf Jakarta.- The Walisanga.net Team |