Saya tak pernah menduga akan berhadapan dengan lelaki ini. Dengan berpakaian ala petugas room service dia menodongkan pistol tepat di depan saya. Entah bagaimana caranya ia bisa masuk menyelinap ke kamar hotel.
"Saya sungguh kecewa terhadap anda," kata lelaki itu. "Bertahun-tahun saya mengidolakan anda. Saya selalu membeli karya-karya anda, buku-buku, novel, roman, puisi dan sebagainya. Tetapi apa yang anda hasilkan sekarang? Sampah!"
"Tunggu, apa maksud anda? Anda siapa ?" tanya saya heran. "Sesungguhnya tak penting siapa saya. Kebetulan saya mengetahui anda menginap disini walau anda mendaftar di hotel ini dengan nama samaran. Saya hanya orang biasa yang kecewa dengan anda. Setelah saya tahu anda ada disini saya menyelinap berusaha bertemu dengan anda."
"Saya sungguh-sungguh amat kecewa dengan karya-karya yang anda hasilkan sekarang ini. Dulu saya dan teman-teman menyanjung anda sebagai sastrawan yang tangguh. Karya-karya anda mengenai penindasan, kesewenang-wenangan, pembebasan dari yang tertindas, keserakahan, pemihakan kepada wong cilik, dekadensi moral, politik dan kisah-kisah mendebarkan membuat anda terkenal, sekalipun konsekuensinya anda harus masuk penjara.
Anda sesekali bergabung dengan grup-grup teater membuat pementasan yang berbobot. Karya-karya anda diterjemahkan ke luar negeri dan menjadi bahan studi di sana. Anda juga pernah mendapat penghargaan honoris causa di luar negeri karena karya-karya anda, meski di negeri sendiri anda dicap anti pemerintah. Buku-buku anda kemudian dinyatakan terlarang tetapi tetap saja banyak orang yang mencari-cari karya anda dan membelinya.
Anda membuat puisi-puisi pergolakan yang menyuarakan kebebasan. Anda juga memimpin para mahasiswa yang mendemo Presiden Amangkurat agar turun dari kursi kepresidenan. Anda pula yang menggerakkan agar mereka terus berjuang sekalipun dipentung petugas, dihalau gas air mata, ditembak dan dipukuli seperti anjing. Anda tak hanya sastrawan tangguh tapi juga pemimpin pemberontakan, reformis yang berani!
Tetapi apa yang terjadi setelah anda bebas dari penjara? Karya-karya anda melorot drastis dan seperti sudah saya bilang tadi karya-karya anda sekarang sampah! Karya-karya anda hanya sebagai pelipur lara saja. Anda membuat banyak novel-novel tak bermutu tanpa naluri kreatifitas yang berarti. Novel-novel anda selalu bercerita tentang memperebutkan gadis pujaan, perselingkuhan, perebutan harta warisan dan lain-lain sebagainya. Anda juga membuat cerita untuk film-film sampah yang sekarang bertaburan di layar kaca. Saya akui anda produktif, terlalu produktif malah. Tetapi apa hasilnya? Sampah!
Saya berpikir ada apa ini? Kenapa anda begitu merosot setelah dipenjara dulu? Mana karya-karya anda yang saya sanjung-sanjung dulu itu? Mana karya-karya anda yang dulu membuat anda termasyur? Mana karya-karya anda yang dulu pernah dijadikan bahan penelitian orang luar negeri dan bahan studi di sana? Ternyata anda sekarang tak lebih dari seorang pelacur, ya pelacuran di bidang seni! Anda sekarang tak lebih salah satu dari bagian pengarang-pengarang novel pop yang tidak bermutu. Karena anda sudah punya nama besar anda menghasilkan karya-karya yang pasti dihargai mahal oleh para penerbit-penerbit buku, produser-produser TV dan film. Padahal karya yang anda hasilkan jauh dari kesan bermutu. Anda terpaksa mengikuti selera pasar karena anda takut tidak hidup! Anda takut dipenjara lagi, bahkan krisis ide akan tetapi anda tidak mengakuinya!
Kemudian anda selalu mengelak kendati dikritik pedas oleh para sastrawan yang mengakui bahwa anda bukan yang dulu lagi. Anda tidak peduli dengan kritik dan terus melaju dengan karya-karya yang tidak bermutu. Terus terang, saya mewakili teman-teman lain yang sangat kecewa kepada anda dan sekarang berkeputusan akan mengambil nyawa anda !"
Saya terdiam. Saya tak bisa berbuat apa-apa kecuali membujuk lelaki muda ini membatalkan niatnya hendak membunuh saya. Kira-kira dua hari yang lalu saya putuskan untuk berlibur bersama istri dan anak-anak di hotel ini. Sampai lelaki yang menyamar menjadi petugas room service ini datang hendak membunuh saya. Kini, moncong pistol itu tepat di depan saya. Dengan satu gerakan saja saya akan mampus.
"Tenang, saudara jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Anda bisa masuk penjara. Bagaimana dengan masa depan saudara?"
"Saya tidak peduli! Setelah saya pikir-pikir anda juga keras kepala dan tak pernah mendengar kata-kata orang lain yang peduli terhadap karya anda. Anda tak pernah mau peduli ketika kesuksesan sudah anda raih, dan nama besar sudah anda miliki. Tapi apa selanjutnya? Saya kecewa dan sungguh-sungguh kecewa. Saya dan teman-teman merasa kehilangan figur sastrawan tangguh yang pernah memimpin pergolakan di negara ini. Sekarang anda sudah berubah menjadi materialistis setelah revolusi.
Berbulan-bulan yang lalu saya mengirim surat, faks, bahkan e-mail kepada anda memeperingatkan anda untuk berubah. Tetapi anda terus berkarya dengan karya-karya sampah yang anda hasilkan!"
"Sekarang, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri hidup anda. Sudah banyak yang memperingatkan anda tetapi anda keras kepala. Yang anda pikirkan hanya uang dan honor besar. Anda sudah lupa perjuangan keras seperti karya-karya anda terdahulu. Bukankah secara tak langsung anda telah membodohi masyarakat dengan karya-karya anda? Karena saran dan kritik tak pernah anda dengar, maka dengan sangat menyesal saya harus mengakhiri hidup anda!"
Saya bergidik. Saya tak bisa berkelit karena moncong pistol terarah persis di depan saya. Gerak saya sudah lamban, usia saya sudah tua. Kalaupun coba-coba melawan pasti anak muda ini dengan mudah mengalahkan saya dan moncong pistolnya segera memuntahkan peluru menghabisi nyawa saya....
"Saudara jangan begitu. Saudara harus tahu bahwa saya ini manusia biasa. Punya segala kelebihan dan kelemahan. Kalaupun dulu anda menyanjung saya dan sekarang anda kecewa itu wajar. Saya memang sudah berubah dan tak bisa lagi menghasilkan karya sehebat dulu. Saya sudah tua." jelas saya.
"Alasan! Banyak pengarang-pengarang yang sekarang sudah tua tapi tetap dihormati
orang karena karya-karyanya yang bermutu. Kalaupun mereka mengaku sudah tua dan tidak produktif lagi mereka lebih suka berhenti saja ketimbang terus berkarya seperti anda. Lebih baik tidak produktif daripada produktif tapi hasilnya tidak bermutu seperti anda!"
"Nak, sesungguhnya sudah banyak yang saya sudah hasilkan. Sudah semuanya saya keluarkan. Apalagi di masa pemerintahan Amangkurat yang pernah memenjarakan saya bertahun-tahun yang lalu. Tapi sekarang apa yang harus saya tulis? Apa yang harus saya buat? Pemberontakan dan penindasan sudah berlalu. Tak ada lagi gejolak, tak ada lagi pergolakan dan pemberontakan, tidak ada dinamika dan energi, semuanya statis. Revolusi sudah selesai, Nak. Apalagi yang harus saya tulis ? Apakah saya harus memberontak kembali? Apakah saya harus masuk penjara lagi? Kalau saya memberontak bagaimana nasib keluarga saya?
Masa-masa itu sudah lama lewat. Yang saya pikirkan sekarang bagaimana saya harus tetap bertahan dengan profesi saya sebagai penulis. Apa yang disuka, dimaui, dan diinginkan masyarakat ya, saya penuhi. Sesungguhnya tak pernah tersimpan di benak saya menggunakan popularitas saya dengan menjual karya-karya saya yang menurut anda kacangan kepada penerbit dan pemesan skenario! Saya tetap jujur berkarya dalam berkreatifitas. Karena sekarang ini yang bisa saya hasilkan, ya begini. Apakah itu salah? Kalau anda tak suka lagi dengan karya-karya saya baca saja buku-buku lain. Bukankah masih ada karya pengarang lain yang lebih tangguh? "
"O, jadi anda tetap tidak mengakui kesalahan anda?"
"Kesalahan apa? Ini tuntutan hidup. Sejujurnya saya tak pernah merasa menjadi sastrawan tangguh. Saya hanya menulis yang terjadi di sekitar saya. Kalaupun yang sekarang terjadi di masyarakat yang begini-begini saja ya apa boleh buat?"
"Anda tetap berkelit tidak mau mengakui kesalahan anda?"
"Saya pikir saya tidak salah. Saya tetap berkarya hanya hasilnya tidak memuaskan anda."
"Anda menolak kenyataan?"
"Menolak kenyataan bagaimana?"
"Kenyataan bahwa sesudah revolusi sebenarnya masih banyak peristiwa lain
yang seharusnya bisa anda ambil sebagai inspirasi anda?"
"Nak, saya hanya menulis apa yang saya ketahui."
"Seharusnya anda tahu lebih banyak dari itu. Anda kan bukan pengarang kemarin sore? Akuilah bahwa anda sekarang lebih memburu uang bukan kualitas!"
Doorrr !!!
Pistol itu muntah dan pelurunya seketika menghantam saya. Saya tak sempat berkelit
dan jatuh ke lantai. Darah keluar dari dada saya. Akan tetapi saya masih sadar, saya belum mati. Anak muda itu maju selangkah lagi. Nampaknya ia hendak memuntahkan lagi isi pelurunya.
Saya pelan-pelan bangkit sambil memegang dada saya yang sakit dan mengeluarkan darah. Saya memohon agar anak muda itu menghentikan perbuatannya. Tapi, tak ada suara keluar dari mulut saya. Tenggorokan saya tercekat.
Doorr, dooorrr, dooorrrr !!!!
Seketika butir-butir timah panas itu menghantam tubuh saya. Darah di mana-mana. Saya ingin menjerit, tetapi seperti yang kukatakan kepadamu tak ada suara yang keluar. Saya merangkak-rangkak berusaha menjauhi anak muda itu sedangkan darah mengenang di sekeliling saya. Anak muda itu terus maju memburu saya.
Seseorang mengguncang-guncang tubuh saya.
"Bangun, Mas. Sudah siang." kata istri saya. Saya bangun. Sinar matahari menyelusup di jendela. Ternyata saya masih ada di kamar hotel. Saya berjalan ke arah laptop yang terletak di atas meja. Saya nyalakan sambil menghirup kopi yang dibuatkan istri saya.
"Baru bangun sudah kerja lagi." kata istri saya, ngedumel. "Tanggung, Ma. Ada pekerjaan yang belum selesai." kata saya. Entah kenapa tiba-tiba saya teringat belum menyelesaikan tugas membuat skenario pesanan.
"Kita kesini kan mau liburan, kamu kok malah kerja. Sudah, ah. Aku mau breakfast sama anak-anak di bawah."
Saya diam saja sambil terus mengetik. Istri saya keluar dari kamar hotel. Saya sendirian di kamar. Jari-jari saya terus bergerak, mengetik. Tapi saya tidak menyelesaikan skenario saya. Saya pikir lebih baik membuat cerpen. Ya, cerpen. Kenapa tidak? Saya merasa sudah lama tak membuat cerpen, semuanya skenario pesanan. Yah, beginilah kalau penulis sedang laris-larisnya, kewalahan memenuhi pesanan.
Saya mulai dengan kalimat, "Saya tak pernah menduga akan berhadapan dengan lelaki ini. Dengan berpakaian ala petugas room service dia menodongkan pistol tepat di depan saya... " Jari-jari saya terus bergerak meneruskannya sampai selesai. Judulnya nanti saja karena sampai cerita ini selesai saya belum menemukan judul yang tepat.