Pincuran di belakang surau kini sepi. Anak-anak muda berlomba pergi. Laki-laki, perempuan. Mereka sudah tak bisa lagi menikmati keindahan kampung ini. Gemercik air di pincuran dan kecipak air tabek, bunyi jengkrik di malam hari dan denting genta di leher kerbau penarik pedati, atau klakson oplet, yang tak bosan-bosannya membujuk orang agar keluar dari rumah gadang dan berbondong-bondong ke pasar kabupaten, tak bisa menahan mereka lagi. Anak-anak muda itu tak puas hanya di pasar kabupaten. Mereka sering talongsong ke ibukota atau kota industri raksasa di seberang lautan. Surau dan pincuran tempat mereka biasa bercengkrama kini sepi.
Tempat itu sebenarnya menyenangkan, meskipun sedikit gelap dan dingin. Pohon ketapang besar di seberang pincuran dengan daunnya yang sangat lebat membuat bagian bawah pincuran tak pernah disentuh matahari. Banyaknya pohon kelapa di sekitar surau dan pincuran juga menambah kesan lindapnya tempat itu. Tapi bagi kami kegelapan itu seperti magnit. Tidak ada keindahan yang lebih menenteramkan dibanding beningnya air yang keluar dari moncong buluh dan jatuh ke bebatuan hitam basah di bawah. Dan lumut yang hijau kehitam-hitaman itu tampak seperti karpet Persia tebal. Angku Guru, sebelum meninggal, sering menceritakan kelembutan karpet-karpet semacam itu ketika dia menuntut ilmu di negeri Khomeini tersebut.
Kini pincuran itu sepi. Prakarsa warga kampung untuk mengelilinginya dengan tembok pembatas, agar aurat orang-orang yang sedang mandi terlindungi dengan baik, tidak cukup untuk menahan anak-anak muda agar tetap berdiam di kampung. Mereka sering duduk bersama di palanta lapau dan menyimak cerita teman-temannya yang baru pulang dari negeri terang. Kalau si teman sudah mengisahkan pengalamannya yang sangat asyik di kota-kota besar itu, anak-anak muda yang belum pernah ke sana melongo penuh minat. Ada tempat yang penuh dengan cahaya lampu warna-warni, dentuman musik yang hingar-bingar, di mana orang bebas berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, menggoyang tubuh sejadi-jadinya tanpa takut ditertawakan atau ditegur orang lain. Mereka menceritakannya sambil meniru gerakan-gerakan tubuh yang mereka lakukan di tempat itu, sehingga mereka yang mendengar ikut bergoyang-goyang kecil tanpa sadar.
Ada pula yang disebut mal. Banyak tangga berjalan di situ, dan juga terang benderang oleh sinar lampu ribuan watt. Musik dan makanan apa saja tersedia. Dan wanitanya, alamak! Dan pemudanya alamak! Benar-benar bisa pusing memilihnya. Belum lagi, kalau teman itu menceritakan keramaian jalan raya atau tempat-tempat hiburan lain yang bertebaran di seantero kota. "Kalian takkan punya cukup waktu untuk menikmatinya. Selalu saja ada yang menarik di kota."
Cerita-cerita itu jelas mengundang. Membuat kampung jadi hambar. Lengang bak kuburan yang lama tak diziarahi. Di mata anak-anak muda kampung berputar-putar binaran hingar-bingarnya kehidupan kota. Apalagi, katanya, uang sangat mudah didapat. Kerja di pabrik delapan jam sehari dapat Rp 30.000. Itu uang yang sangat banyak, karena goreng pisang di lapau masih Rp 50 sepotong. Ditambah setengah gelas kopi baru Rp 200. Dan di kampung ini siapa pula yang mau membayar orang Rp 30.000 sehari? Jajan anak-anak muda itu dari ayah, ibu dan mamak mereka paling banyak hanya Rp 500. Itu pun sudah dengan mendepak-depak pintu mendapatkannya.
Di depan pincuran berdiri surau gadang bergonjong empat. Tinggi karena terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama untuk pertemuan warga, tempat shallat, wiridan, mengaji, serta tempat tidur para remaja dan pemuda bila malam tiba. Tingkat dua untuk menyimpan berbagai peralatan kebanggaan kampung. Surau itu menjadi sentra. Permasalahan apa pun yang berkembang di kampung dibahas di situ. Bahkan suami-istri yang sedang saling sakit hati lebih suka menyelesaikan masalah mereka di surau gadang daripada ke KUA. Surau itu sungguh menyejukkan. Dia seperti pasangan yang penuh pengertian bagi pincuran mandi kami. Sama-sama kalem, tenang, damai dan menyejukkan.
Kini keduanya kedinginan berkelumun sepi. Suara-suara ceria anak-anak muda perlahan menghilang. Tinggal percik air, sipongang binatang hutan, dan dengung lebah yang tak pernah berhenti berusaha melubangi tiang utama surau. Lantai kayu itu juga tak pernah berderak-derak lagi direncah kaki yang berlarian. Semua lenyap kini. Tinggal langkah-langkah lemah para orang tua, yang tertatih satu-satu, bak perjalanan yang lambat ke liang lahat.
Lalu, muncullah tanaman itu. Entah dari mana. Dengan daun yang kuning keemasan dia merambat melingkari pohon ketapang, pohon kelapa, dan menyentuh atap surau dengan anggunnya. Penduduk --yang tersisa di kampung dan rata-rata sudah tua-- takjub dan terpesona melihatnya. Bagaimana tidak, selain kemunculannya yang begitu misterius --hanya tumbuh dalam semalam-- daunnya yang kuning kemasan itu tak seperti warna pada umumnya. Ada pancaran sinar yang sangat kuat di situ, sehingga suasana sekitar surau dan pincuran yang biasanya gelap jadi terang benderang. Seolah-olah gua harta Aladin pindah ke sana. Udara dipenuhi nuansa keemasan.
Keajaiban itu membuat sebagian warga jadi gila. Bukan benar-benar gila, tapi entah bagaimana menyebutkannya. Mereka menganggap dedaunan itu seperti emas dan perhiasan betulan. Padahal setelah dipetik, daun itu tetap saja lemas sebagaimana halnya daun. Tapi toh mereka berebutan terus memetiknya. Banyak yang membawa daun itu pulang dan menjadikannya sebagai hiasan rumah. Rumah-rumah jadi ikut terang-benderang. Anehnya sebanyak yang diambil sebanyak itu pula yang tumbuh kembali. Jadi daun itu seperti tak habis-habisnya. Terus saja tumbuh dan tumbuh, merayapi setiap jengkal dinding tembok pincuran mandi dan menjalari dinding kayu surau, terus ke atap ijuknya yang tebal. Akibatnya atap surau yang dulu hitam legam, kini bercahaya keemasan. "Persis seperti lampu-lampu di kota besar," gumam seorang remaja yang masih tersisa dan kenyang mendengar cerita senior-seniornya yang sudah lebih dulu merantau. Dia begitu yakin, meskipun belum pernah menginjakkan kaki di kota-kota yang sudah sangat akrab dengan angan-angannya itu.
Kabar tentang tanaman dan daunnya yang ajaib itu menyebar cepat sekali. Dari mulut ke mulut. Dari koran ke koran. Dari majalah ke majalah. Dari televisi ke televisi. Hampir tiap hari selalu saja ada cerita baru mengenainya. Misalnya, ada yang menyebut sebetulnya daun emas itu menunjukkan bahwa di bawah pincuran dan surau gadang ada urat emas yang besar sekali. Isu ini hampir membuat warga dan pendatang nekad membongkar kawasan itu. Untunglah ahli emas dari kota segera membuyarkan rencana tersebut. "Tidak ada bukti ilmiah tanaman ini berhubungan dengan urat emas di dalam tanah," katanya tegas. Ditambahkannya tanaman tersebut hanyalah tanaman biasa yang kebetulan memiliki daun warna emas. "Di Eropa dan Amerika banyak tanaman seperti ini," ujarnya yakin. Orang-orang percaya dan mengurungkan niatnya. Pincuran dan surau gadang selamat dari linggis --dan buldozer-- karena orang terkaya di kampung sudah mengklaim tanah di situ sebagai tanah ulayat pusako tinggi keluarganya. Dia tidak bohong, meskipun selama ini dia tak mempedulikan tanah, pincuran dan surau tersebut, kecuali kebun kelapa yang memenuhinya. Orang itu sudah memesan buldozer ke Dinas PU di ibukota propinsi, tempat menantunya menjabat posisi yang cukup penting. Untung tidak jadi.
Namun tetap saja kampung jadi ramai kembali. Suasana di pincuran dan surau gadang riuh-rendah lagi. Terutama oleh para pendatang yang datang dari berbagai penjuru. Mereka menjadikannya tempat piknik keluarga. Mereka mandi ramai-ramai di pincuran, shallat di surau, dan makan sama-sama di tikar. Pemilik tanah ikut kebagian kegembiraan, karena bisa memungut uang lokasi, menjual makanan-makanan kecil, dan cendera mata berupa daun-daun emas tadi. Mereka memonopoli semuanya. Penduduk lain yang ingin ikut berjualan onde-onde, kue talam, lapek pisang, lapek bugih, sala lauak, sala udang, rakik maco, rakik kacang, gado-gado, lotek, lontong, dan lain-lain harus membayar sekian ribu baru diizinkan masuk lokasi dan menggelar dagangan. Banyak yang bersedia karena tempat itu memang sangat ramai, apalagi setelah pengusaha komidi putar ikut menyewanya dan menggelar berbagai atraksi permainan di stand-stand hiburan mereka yang hingar bingar.
Ketenaran tempat itu ternyata mampu membuat anak-anak muda di kota besar pulang. Mereka kembali dengan harapan menggebu. Seperti para pendatang lainnya, banyak yang pada awalnya menduga bahwa tanaman itu benar-benar mengandung emas. Mereka rata-rata berpikir bisa pulang kampung dan langsung kaya, mengingat saling keterkaitan hubungan darah dengan pemilik tanah. Mereka tidak tahu hubungan kefamilian sudah tak begitu dekat lagi antar warga yang rata-rata memang berasal dari satu nenek moyang itu. Uang mengubah segalanya. Memperjelas jarak yang tadinya tak tampak.
Kampung yang ramai jadi tambah ramai dengan pulangnya anak-anak muda dari kota-kota besar, lengkap dengan lagak dan gayanya. Baju dan sepatu berbagai corak bersliweran di jalan desa. Dari rumah-rumah gadang berkumandang lagu-lagu terbaru, yang sangat berbeda dengan alunan saluang, bansi, talempong dan pupuik sarunai. Semua musik yang mereka bawa dan perdengarkan tak perlu dimainkan. Tinggal memasukkan kaset dan menekan tombol play, suaranya sudah memenuhi udara desa. Bermacam-macam lagu, tergantung selera. Ada yang mendayu-dayu, ada yang menghentak-hentak, ada yang berteriak-teriak, ada yang mengundang air mata seperti layaknya lagu-lagu di televisi itu. Orang kampung kenyang dengan ulah anak-anak muda berduit ini, meskipun belum ada yang pulang membawa mobil sendiri seperti para perantau di kampung tetangga, mereka sudah bisa disebut biasa punya uang. Dompet mereka tebal. Apa yang lewat dibeli. Makan minum di rumah makan pasar kabupaten terus. Rokok mereka was wis wus berbagai merek.
Tapi, keramaian itu tak lama. Anak-anak muda itu cepat sekali bosan. Setelah mengetahui daun emas tersebut tak ada hubungannya dengan emas betulan, ditambah dinginya sikap keluarga besar, satu-persatu mereka kembali ke kota. Tidak seperti para pendatang dari kampung lain, yang begitu terpesona dengan komidi putar dan keramaian di seputar pincuran dan surau gadang, mereka tak tertarik sedikit pun dengan komidi putar, buayan kaliang, dan aneka jajanan. "Di kota banyak yang lebih hebat dari itu, jangankan daun emas, daun intan pun banyak," kata mereka. Nadanya bosan sekali.
Kemudian, datanglah truk-truk besar dan buldozer dari pusat. Pincuran dan surau gadang ditutup untuk umum. Seluruh pohon kelapa ditebang, tanah dan rumputnya diratakan. Sekelilingnya dipagar tembok tinggi, sehingga warga kampung benar-benar tak bisa lagi mandi di pincuran dan shallat di surau, meskipun hanya untuk Subuh, Magrib dan Isya. Tidak lama sebuah hotel dan restoran besar sudah berdiri di situ. "Istri Bupati menginginkannya, kami tak berani menolak harga yang ditawarkan," pemilik tanah ulayat menceritakan itu dengan mimik sedih di lapau. Orang-orang tak mendengarkan. Mereka asyik dengan goreng pisang dan kopi masing-masing.
Sejak itu kampung terasa lebih sepi dari sebelumnya. Meskipun hotel dan restoran itu tetap ramai dengan pengunjung-pengunjung kaya dari kota, tapi kegembiraan mereka sepertinya tanpa suara. Musiknya pun lembut, nyaris tak terdengar. Ada juga tawa dan tepuk tangan anak-anak, tapi sangat teratur. Bahkan ketika berkecimpung dalam kolam renang mewah yang dikembangkan dari pincuran itu, anak-anak dan remaja tetap mengendalikan tawa dan kegembiraan mereka. Mata mereka yang memandang kampung dari balik jendela mobil, juga murung. Redup tak bercahaya.
Sepi makin menggigit. Juga ketika seorang penduduk, yang kebetulan lewat di tembok belakang hotel pagi tadi, mengabarkan bahwa daun-daun kuning keemasan itu mulai berjatuhan. "Daunnya jatuh dan tak tumbuh kembali seperti dulu," katanya dengan wajah tanpa ekspresi. Orang-orang tak bereaksi. Mereka menyeruput kopi dan menggigit goreng pisang seperti zombie.