Hasni's Story Galery


Kantor yang Dihuni Genderuwo
Cerpen Juniarso Ridwan

Angin itu seperti mahluk bernyawa saja. Ia bertengger di kusen sebuah jendela kantor. Bila hari di ambang petang, tiba-tiba saja jendela itu menjerit berderit-derit. Angin yang nakal itu tampaknya senang bermain dengan daun jendela. Ditendangnya berkali-kali. Berderak-derak, seperti hendak copot. Engselnya yang sudah berkarat itu mengalami kesulitan untuk menahan tarikan daun jendela. Bila malam sudah menerkam muka bumi, suara daun jendela itu terdengar sampai jauh. Orang yang berlalu-lalang hapal betul dari arah mana suara itu datang. "Oh, kantor tua itu," ujar penjual sate yang hampir tiap malam melewati jalan di muka kantor itu. Kadang angin itu membawa mendung menggayut di atas bubungan kantor. Kendati hujan tidak turun, tapi kilatan petir yang muncul dari gumpalan awan sempat pula membuat orang ketakutan. "Aneh, petir itu enak saja berlompatan di sekitar tanah lapang dekat kantor. Orang yang ada di sekitarnya tentu saja menjadi ciut nyalinya," suara menggugat. Tapi, itu mungkin gejala alam, yang tidak perlu dipertanyakan. Hanya ahli fisika barangkali yang bisa menjelaskan hal itu. Bisa dimaklumi, pada daerah tertentu memang acapkali bunyi petir lebih sering terdengar dibanding daerah lainnya. Hanya saja, yang masih menjadi pangkal munculnya kepenasaran orang-orang, adalah seringnya angin menggiring mendung ke arah bubungan kantor itu. Dan kenyataan itu sangat sulit untuk dipahami.

Belakangan ini memang banyak kejadian aneh yang muncul di kantor itu. Beberapa satpam yang giliran jaga malam sering memergoki bayangan tak berkepala bergerak dekat pintu gudang, di bagian belakang kantor. Kemudian ada juga yang mendengar suara kaleng dipukul-pukul di halaman belakang. Pada suatu malam telepon terus berdering, tapi begitu diangkat tidak ada suara menyahut. Satpam yang tengah tiduran di ruang tengah tiba-tiba mendapati pesawat teve menyala sendiri. Kadang nyala lampu dipermainkan. Berkedap-kedip, padahal tak ada yang menyentuh stop kontak. Ada juga yang kebetulan mendengar suara orang sedang mandi. Tapi jelas tak ada orang yang mandi malam-malam. "Ini pasti ulah genderuwo," kata seseorang, "di dekat pohon jambu klutuk terlihat bayangan hitam berkelebat. Tinggi besar dan menimbulkan suara ribut."

"Mungkin ada arwah penasaran. Ini kan bangunan bekas kepunyaan orang Belanda. Siapa tahu dulunya dijadikan tempat penyiksaan orang. Katanya sih waktu Jepang masuk ke tanah Jawa ini, banyak orang Belanda yang disiksa hingga meninggal dunia. Orang yang matinya tidak sempurna biasanya arwahnya marakayangan," seorang satpam angkat bicara.

"Bisa jadi di bawah bangunan ini ada kuburan keramatnya. Penghuninya merasa terganggu, sehingga perlu melakukan unjuk rasa. Yah, semacam protes gitu!" kata satpam yang lain.

"Apa pun yang terjadi. Ini merupakan tugas kita sebagai satpam. Kita harus mengamankan tempat ini. Gangguan macam-macam jangan sampai membuat kita terlena, hilang kewaspadaan. Kita harus melakukan operasi cegah-tangkal!" kepala satpam menenangkan.

Akhirnya orang-orang mengembangkan gunjingan. Sejak kehadiran bos yang baru, suasana di kantor itu menjadi angker. Beda dengan bos yang dulu, yang lebih humanis dan populis, maka bos yang sekarang selalu mengambil jarak dengan para karyawan. Penampilannya dibuat beku. Angkuh. Jarang bicara dan selalu menyendiri. Hanya senyumnya yang terkesan menghanyutkan. Senyum yang penuh pesona, mengandung magnet. Penuh misteri, sekaligus menakutkan. Tapi bersamaan dengan itu muncullah berbagai kejadian aneh. Gunjingan pun lebih mengarah kepada figur bos baru itu. Santer pembicaraan, katanya ia menganut pesugihan. Untuk menjadi kaya ia mengabdi pada kekuasaan setan. Sehingga untuk itu ia mengundang genderuwo. Atas gunjingan itu, 75 persen orang percaya saja. Daripada harus repot-repot berpikir. Bagaimana tidak, kenyataan kini banyak pejabat yang lari mencari perlindungan para dukun. Mereka ingin langgeng duduk di kursi jabatannya. Mereka berharap, bila melakukan kesalahan bisa terhindar dari jeratan sanksi. Dan peranan dukun itu lebih ampuh dari SK pejabat tinggi mana pun."Jadi untuk bisa kaya perlu berkomplot dengan genderuwo," sela pesuruh yang sering diminta memijati sang bos.

Para karyawan pun saling berbisik. Mereka akan selalu berhati-hati, jangan sampai menyinggung perasaan sang bos. Di depan bos harus tampak baik-baik saja. Mereka takut kualat. Takut jadi umpan genderuwo. Dengan demikian, bos adalah jenis manusia yang paling berkuasa di kawasan kantor itu. Segala perkataan dan perbuatannya tentu mengandung hukum tersendiri, dan harus dipatuhi. Sekali melanggar keinginan bos, maka karyawan itu akan sulit menikmati lagi duduk di atas kursi yang selama ini memberi kekuatan dan fasilitas.

Karena pengaruh alam pikiran yang sudah dirasuki hembusan nafas genderuwo itulah, maka lambat-laun sosok bayangan genderuwo benar-benar telah bersemayam di benak masing-masing karyawan. Genderuwo merupakan sebuah kata yang mudah dicerna. Semakin sering disebut, semakin akrab di telinga pendengarnya. Semakin keras terdengar, nadanya semakin terasa merdu. Genderuwo menjadi ungkapan berbau sakral yang tidak boleh dilecehkan, diyakini sebagai api semangat baru, menjadi etos kerja dan pedoman hidup. Berbagai sumpah jabatan, selalu mengandung unsur nilai genderuwo. Ada etika tidak tertulis yang dewasa ini dikembangkan di lingkungan kantor itu, yakni sesama karyawan harus berpegang teguh pada prinsip "tahu sama tahu". Dengan prinsip semacam itu, berbagai macam gangguan yang selama ini dirasakan, dipandang sebagai kecenderungan halusinasi atau gangguan jiwa tingkat rendah. Dan oleh sebab itu harus dianggap tidak pernah terjadi. Suasana bekerja tidak boleh terganggu oleh peristiwa yang diperkirakan tidak memiliki hubungan langsung secara signifikan.

Karena sudah menjadi pedoman yang melekat dalam mekanisme kerja, maka para karyawan dengan sungguh-sungguh memperdalam hal-ihwal penghayatan dan pengamalan ajaran genderuwo. Mereka berkeyakinan, semakin halus orang mempraktekkan ilmu genderuwo, maka akan semakin besar manfaat yang diperolehnya. Makin tinggi penguasaan teori, makin mahir mengelabui dan memperdaya orang lain.

Menurut kepercayaan, ilmu genderuwo mampu membuat manusia bisa menghilang, sebagai manusia bayangan yang bergerak cepat. Selebihnya, bisa menghilangkan setiap benda yang diinginkan. Ini daya tarik tersendiri. Mula-mula kertas bisa menghilang. Alat tulis kantor satu-satu menghilang. Kendaraan dinas, onderdilnya dipreteli dan hilang. Data penting menyangkut perkembangan kantor, sebagian dinyatakan hilang. Bahkan sertifikat tanah kantor juga kabarnya hilang.

Setiap orang di kantor itu sudah meyakini dirinya sanggup menghilangkan sesuatu benda, tanpa harus bertanggungjawab. Dan itu membuktikan bahwa genderuwo telah bergentayangan. Karena keadaan seperti itu, orang menjadi mudah menaruh curiga terhadap yang lain. Jangan-jangan nanti jabatan saya hilang juga. Jangan-jangan nanti nyawa saya hilang juga. Kemudian untuk menghindari perkembangan yang tidak diharapkan, setiap karyawan menjaga dirinya dengan kewaspadaan tinggi. Di dinding setiap ruangan kantor terpampang tulisan dengan huruf besar-besar :"Apa yang didengar dan terbaca di ruangan ini, hanya untuk diri anda sendiri." Pemberitahuan itu agaknya untuk menghindari perilaku karyawan yang suka bergosip-ria. Agar kerahasiaan kantor tidak menjadi konsumsi umum, sehingga kejanggalan yang muncul dapat dengan cepat terdeteksi. Setiap orang bisa menciptakan pengamanan swadiri. Tidak bisa saling curi atau saling bajak hak orang lain. Metoda pengamanan seperti ini, paling tidak, mampu menumbuhkan rasa setia kawan. Dari sinilah muncul pemeo, bahwa antara sesama genderuwo dilarang saling jegal.

Memang bagi orang yang belum terkontaminasi hawa genderuwo, secara naluriah, akan menjumpai peristiwa-peristiwa yang membuat bulu kuduk berdiri. Kejadian-kejadian yang musykil dan mustahil dapat dengan mudah dipergoki. Akan tetapi, jangan menganggap kontaminasi hawa genderuwo itu bisa ditanggulangi hanya oleh proposal analisis mengenai dampak lingkungan. Sebab, menurut penelitian yang telah dilakukan secara seksama dan melibatkan banyak pakar, dampak genderuwo itu sulit dideteksi sejak dini. Semacam polutan yang sifatnya laten. Derajat ancamannya bisa dikategorikan setaraf dengan narkoba atau aids yang menjangkiti para pemuda. Dampaknya berkembang dan berbiak menurut hitungan deret ukur.

Kini bos yang memimpin kantor itu terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani. Namanya diperhitungkan dalam bursa tokoh berbusana terbaik. Termasuk salah satu elit panutan yang pendapatnya banyak didengar media massa. Lalu bangunan kantor yang konon peninggalan kolonial itu telah dioper dan dikuasai seorang tauke. Katanya akan dijadikan supermarket. Sedangkan pengganti bangunan kantor, telah dibangun gedung yang lebih representatif. Terletak di daerah pinggiran kota. Di sana pun genderuwo itu semakin kerasan saja. Denyut jantungnya berkembang tak terbendung. Bahkan kuku-kuku kekuasaannya mencengkram berbagai lini kehidupan. Angin pun tak bisa mengusir Genderuwo itu dengan mengirim kilatan petir. Karena takut menjadi saksi, kemudian diam-diam angin segera berlalu menjauhi bidang jendela. Mengembara. Menjelajahi lembah-lembah berkabut.***



< Back >