Dia masih duduk termenung
di kursinya, sementara tangan kirinya terus asyik mempermainkan
puntung rokok yang tinggal beberapa hisapan. Lembaran-lembaran
kertas tampak berserakan di atas meja yang membisu di depannya.
Garis-garis putih berputar-putar di udara, membuat
lingkaran-lingkaran kecil yang saling menghimpit dan menumpuk
kemudian menggumpal bagaikan sebongkah batu dan tiba-tiba meledak.
Ledakan yang luar biasa sehingga semua kata yang tersimpan dalam
pikirannya terbang berhamburan. Dengan cepat dia memungut kembali
kata-kata yang masih tampak utuh dan kembali mencoba menyatukan
serpihan-serpihan kata yang telah hancur.
Peristiwa itu
membuatnya kesal dan marah. Dia tidak tahu lagi, ke mana harus
mencari kata-katanya yang hilang, padahal dengan susah payah dia
telah mengumpulkannya selama bertahun-tahun dan terus menjaganya
agar ia tidak ternoda dan terkena racun kehidupan yang senantiasa
membuat kata-kata milik orang lain berkarat dan tampak dekil,
sehingga mereka harus memolesnya atau memberinya minyak agar
kata-kata mereka tampak indah dan menarik.
Jam di dinding
kamarnya telah menunjukkan pukul satu pagi, namun dia belum juga
selesai merangkai kata-kata yang pecah tersebut. Seluruh tubuhnya
terasa sangat lelah dan otaknya tak lagi mau bekerja. Dia berdiri
dan melangkah menuju pembaringannya yang terbuat dari bambu yang
berwarna coklat kehitaman. Dia merebahkan tubuhnya dan mencoba
memberi kesempatan pada pikiran dan perasaannya untuk berjalan-jalan
bersama menelusuri lorong-lorong imajiner yang telah dia bangun
selama ini.
Lorong itu begitu gelap, bahkan lebih gelap dari
malam yang paling gelap. Tidak seperti biasanya, malam itu pikiran
dan perasaannya tidak mampu berjalan dan berkeliling di dunia
imajiner yang biasanya sangat menarik mereka. Mereka hanya bisa
berputar-putar di sekitar kepalanya, melompat-lompat dari atas
ranjang ke meja tulis, kemudian terbang dan bergantung di atap,
terjuntai bagi benang basah yang lentur namun tiba-tiba mengeras dan
jatuh bagaikan sebuah tongkat besi.
Dia terus mencoba membuka
lembar-lembar mimpinya yang sudah mulai kusut. Impian yang
terbentang luas namun sudah jarang tersentuh dan tak pernah muncul
kembali menjadi kenyataan. Dia berusaha keras agar mimpi-mimpi yang
pernah dia bangun itu dapat kembali dia temukan. Mimpi tentang jiwa
yang kuat, yang mampu bertahan di tengah-tengah hempasan badai
kehidupan, mimpi tentang sebentuk kesadaran yang selalu terkendali
dan tak pernah keluar dari naluri dan nalar serta mimpi-mimpinya
yang lain.
Tiba-tiba dia bangkit dari pembaringannya, duduk dan
mengggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat seolah ingin membuang
segala yang menekan kepalanya. Dia terus menggeleng sehingga rambut
yang menutupi kepalanya berserakan di sana sini. Rambut itu kini tak
lagi menempel pada kulit kepalanya. Ia hanya menutup bagian luar
kepalanya dan akar-akarnya tak lagi berada di dalam kepala. Rambut
yang dulu pernah ia banggakan, kini telah menjadi semacam beban yang
selalu merepotkannya. Mereka selalu minta dikeramas setiap kali
kepalanya menemukan sesuatu yang asing bagi dirinya. Pernah suatu
ketika, saat dia menemukan sebuah pikiran untuk mengakhiri semua
perjuangan dalam mewujudkan mimpi-mimpinya dan kembali menjadi
seperti teman-temannya yang lain, hidup seperti orang kebanyakan,
bekerja pada siang hari dan berbagi kebahagiaan dengan seorang
perempuan yang disebut istri pada malam hari hingga suatu saat akan
melahirkan dan membesarkan anak-anak.
Hampir saja semua itu
menjadi sebuah kenyataan yang pasti akan dia jalani seandainya
rambut di kepalanya tidak marah-marah dan minta untuk segera dicuci
dengan air hujan. begitulah, setiap kali dia berpikir tentang
sesuatu yang banyak dipikirkan orang, rambutnya selalu terasa gatal
dan ia selalu minta siraman air, bukan air sumur ataupun air yang
lain, tetapi hanya air hujan, air yang turun dari langit dan belum
menyentuh apapun selain debu-debu yang terbang di udara karena tak
mempunyai tempat yang pasti di muka bumi. Rambutnya senantiasa
berbisik padanya ketika dia menyambut datangnya air hujan pertama
yang menyentuh kulit kepalanya, “Jadilah seperti hujan. Dia turun
dari tempat yang begitu tinggi, tapi bukan karena derajatnya turun
dan menjadi rendah, tetapi karena dia ingin memberikan kehidupan
bagi bumi.” Rambut itu berbisik seakan-akan dia mempunyai rongga
mulut serta bibir yang mampu membuka untuk mengeluarkan kata-kata,
tangisan, tawa, serta rintihan.
“Jadilah seperti debu yang
terbang di udara untuk mencari tempat terbaik dan jangan pernah
turun kecuali jika hujan dengan segala niat baiknya memaksa kamu
untuk turun,” tambahnya.
Dia sering merasa pusing memikirkan
maksud kata-katanya. Bukankah hujan dan debu hanyalah sesuatu yang
lahir dan muncul karena proses alam. Mereka tidak mempunyai kehendak
dan maksud apa-apa. Mereka hanya benda mati. Tetapi rambut, kenapa
rambutnya kini bisa mengeluarkan kata-kata. Bukankah kata-kata itu
hanya milik manusia yang hidup, bahkan jika sudah mati, manusiapun
tak akan mampu mengeluarkan kata-kata. Akan tetapi, saat ini dia
sering menjumpai orang yang tidak bisa berpikir dan mengucapkan
apa-apa selain apa yang pernah dipikirkan dan diucapkan oleh orang
lain dan dia tidak mau seperti itu. Dia ingin menjadi lain dari yang
lain. Dia ingin memiliki dirinya sendiri. Dia tidak ingin seperti
orang lain yang hidup seperti sebuah boneka dan selalu merekam dan
meniru apa yang dilakukan dunia.
Orang-orang yang pernah dia
kenal sudah tidak lagi dapat dia kenali. Semakin lama dia mengenal
mereka, semakin asing mereka di matanya. Mulai dari rambut hingga
ujung kaki, bahkan dari gerak hingga suara dan kata-kata yang mereka
keluarkan semuanya sama satu dengan yang lain.Tak ada yang menarik
dan membuatnya kagum, sehingga lama-kelamaan mereka menjadi semakin
asing dan menjauh dari ruangan kecil yang ada di kepalanya. Ruangan
yang selalu menjadi tempat singgah segala yang pernah dia lihat dan
pikirkan.
Dia kembali menghadapi lembaran kertas yang merebahkan
tubuhnya dengan nyaman di atas meja. Kertas-kertas itulah yang kini
menjadi teman akrabnya. Mereka menjadi teman yang baik karena selalu
mampu mengajaknya berbincang tentang segala yang tak pernah
diperbincangkan orang lain.
Dia mulai menggerakkan pena yang ada
di antara jari-jarinya. Dia memulai semuanya dengan sebuah titik
kecil, kemudian menariknya menjadi sebuah huruf dan garis dan lain
sebagainya. Titik itulah yang telah membuat hidupnya menjadi begitu
berharga. Baginya, sebuah titik adalah sesuatu yang paling berharga
dan bermakna, karena dari titiklah segalanya dimulai. Semua huruf
tercipta dari sebuah titik awal. Kehidupan yang terbentang bagai
tanah lapang ini juga dimulai dari sebuah titik kelahiran dan akan
ditutup oleh sebuah titik yang disebut kematian.
“Menghidupkan
Tuhan dan jiwa-jiwa yang telah mati.” Kalimat itu melintas di
benaknya dengan cepat bagaikan sebuah peluru yang meluncur tanpa
dapat ditangkap oleh mata. “Tuhan dan jiwa telah mati?” Pertanyaan
itu berputar-putar di kepalanya dan membuat lingkaran-lingkaran yang
ruwet dan kacau balau.
“Tuhan dan jiwa telah mati.” Dia terus
memikirkan kata-kata yang sempat dia tangkap dengan kekuatan pikiran
dan perasaannya tersebut. Lama dia memikirkannya, lalu dengan cepat
dia menyambar kalimat yang terasa asing itu dan menyembunyikan di
balik sebuah tirai yang memisahkan otak dan hatinya. Dia
menyimpannya rapat-rapat, menutupnya dengan kain tipis yang terbuat
dari anyaman kata-kata yang halus dan lembut bagaikan kain
sutera.
Begitulah, setiap kali dia menemukan sebuah kalimat
ataupun kata-kata yang dirasa cukup menarik, dia segera menyimpannya
dalam kotak kecil yang memang dia sediakan untuk sebuah kalimat
ataupun kata yang menurutnya cukup menarik dan belum ternoda. Dia
menyimpannya rapat-rapat, membungkusnya dengan selembar kain tipis
yang terbuat dari kata-kata yang teranyam dan terjalin rapi. Anyaman
itu pulalah yang selalu menemaninya dalam hidup ini. Baik saat tidur
maupun terjaga, dia selalu memakai pakain yang terbuat dari
kata-kata. Bukan kata-kata biasa seperti milik orang-orang, tetapi
kata-kata yang selalu dia jaga agar tidak kotor dan ternoda oleh
kotoran yang datang dari kehidupan yang dia rasakan semakin jorok
dan menjijikkan.
Selain itu, dia juga masih punya kata-kata
khusus yang selalu dia simpan dan dirawat dengan baik dalam batok
kepalanya. Kata-kata yang hanya keluar pada saat-saat yang sangat
dibutuhkan, saat-saat penting seperti saat berbicara dengan orang
tuanya atau saat mengutarakan maksud dan keinginannya. Tapi saati
ini, kata-kata itu telah kocar-kacir oleh sebuah ledakan. Ledakan
yang muncul karena sebuah gumpalan putih yang entah keluar dari
mana; gumpalan yang sebelumnya tampak indah bergaris-garis namun
akhirnya menjadi sebuah sumber malapetaka yang telah menghancurkan
hampir separoh harta simpanannya.
* * *
Sayup-sayup dia mendengar sebuah suara. Sebuah suara yang terasa
sangat akarab di telinganya namun tak dapat dia kenali. Pada mulanya
suara itu terdengar lirih namun semakin lama ia terdengar semakin
keras dan mulai memekakkan telinganya. Dia menempelkan telapak
tangannya ke daun telinga yang tampak memerah sambil mencari-cari
asal suara. Dia sudah mencoba berusaha sekuat tenaga mencari dari
mana suara itu keluar dan siapa yang telah melepasnya, namun
semuanya sia-sia. Dia tidak bisa menemukan pemilik suara itu di luar
dirinya, maka dia mencoba memperhatikan dirinya sendiri, meneliti
satu persatu anggota badannya, siapa tahu ada anggota badan yang
lain yang mampu mengeluarkan suara selain bibir dan rambutnya.
Setelah cukup lama mencari, akhirnya dia menjadi tahu bahwa
suara itu berasal dari sesosok makhluk yang berdiri dengan sombong
di antara hati dan otaknya. Hati berada di dada, sementara otak
berada di kepala, lalu di mana ia berdiri. Apakah ia berada di
tenggorokan, leher, ataukah di pundak? Dia tidak tahu dengan pasti.
Yang jelas, ia tampak berdiri di antara keduanya. Kejelasan yang tak
dapat ditangkap oleh mata, namun tampak jelas oleh perasaannya. Dia
berdiri, bertolak pinggang sambil sesekali tertawa dan sesekali
berteriak-teriak seolah ingin menganggu ketenangannya.
Dia mulai
mencoba mengenali, siapa yang berdiri dengan penuh kesombongan dalam
dirinya itu. Apakah ia yang disebut jiwa ataukah ia setan yang
menjelma menjadi sesosok makhluk yang memang selalu mencoba
menganggu manusia. Dia mengamatinya dengan teliti dan tiba-tiba dia
terperanjat kaget ketika tahu bahwa sosok itu sama persis dengan
dirinya, mulai dari bentuk wajah, rambut, ukuran tubuh hingga
pakaian yang ia kenakan. Dia menjadi heran dan perasaan itu
lama-kelamaan berubah menjadi rasa takut yang sangat mencekam.
Ketakutan yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya. Sepanjang
waktu yang telah dia jalani, belum pernah dia merasakan ketakutan
seperti ini. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dalam tubuhnya akan
muncul sesosok tubuh yang sama persis dengan tubuh yang telah dia
bawa kemanapun dia pergi. Tubuh yang dia anggap hanya miliknya dan
tak pernah dimiliki oleh orang lain, tapi kini, ia telah tersaingi
oleh sosok lain, yang tidak muncul di alam maya, tidak berpijak di
bumi dan tidak menghirup udara seperti dirinya. Sosok itu berdiri
dengan congkaknya di dalam dirinya, menghirup aliran darahnya dan
mengeluarkan suara-suara yang memekakkan telinganya.
Sosok yang
tampak angkuh itu terus menganggu ketenangannya dan mulai mencoba
menghancurkan kata-kata yang tersimpan dalam kotak kecil di
kepalanya. Ia terus berusaha mengacaukan semua yang selama ini telah
tersusun dan teratur dengan rapi. Dengan seluruh kekuatan dan akal
liciknya, sosok yang benar-benar menyerupai dirinya itu mengumbar
kejahatan, bukan pada dunia dan orang lain, tetapi pada dirinya,
pada alam kejiwaan yang telah menghidupinya. Perjuangan panjang dia
lalui untuk menyingkirkan sebentuk kejahatan baru yang lahir dalam
dirinya. Kejahatan yang akan menghancurkan seluruh kekayaan dan
impiannya serta kata-kata yang telah dia rawat dan dia pelihara
selama bertahun-tahun lamanya.