Hasni's Story Galery


Impian
Cerpen Tolle Elliot

Dia masih duduk termenung di kursinya, sementara tangan kirinya terus asyik mempermainkan puntung rokok yang tinggal beberapa hisapan. Lembaran-lembaran kertas tampak berserakan di atas meja yang membisu di depannya. Garis-garis putih berputar-putar di udara, membuat lingkaran-lingkaran kecil yang saling menghimpit dan menumpuk kemudian menggumpal bagaikan sebongkah batu dan tiba-tiba meledak. Ledakan yang luar biasa sehingga semua kata yang tersimpan dalam pikirannya terbang berhamburan. Dengan cepat dia memungut kembali kata-kata yang masih tampak utuh dan kembali mencoba menyatukan serpihan-serpihan kata yang telah hancur.
Peristiwa itu membuatnya kesal dan marah. Dia tidak tahu lagi, ke mana harus mencari kata-katanya yang hilang, padahal dengan susah payah dia telah mengumpulkannya selama bertahun-tahun dan terus menjaganya agar ia tidak ternoda dan terkena racun kehidupan yang senantiasa membuat kata-kata milik orang lain berkarat dan tampak dekil, sehingga mereka harus memolesnya atau memberinya minyak agar kata-kata mereka tampak indah dan menarik.
Jam di dinding kamarnya telah menunjukkan pukul satu pagi, namun dia belum juga selesai merangkai kata-kata yang pecah tersebut. Seluruh tubuhnya terasa sangat lelah dan otaknya tak lagi mau bekerja. Dia berdiri dan melangkah menuju pembaringannya yang terbuat dari bambu yang berwarna coklat kehitaman. Dia merebahkan tubuhnya dan mencoba memberi kesempatan pada pikiran dan perasaannya untuk berjalan-jalan bersama menelusuri lorong-lorong imajiner yang telah dia bangun selama ini.
Lorong itu begitu gelap, bahkan lebih gelap dari malam yang paling gelap. Tidak seperti biasanya, malam itu pikiran dan perasaannya tidak mampu berjalan dan berkeliling di dunia imajiner yang biasanya sangat menarik mereka. Mereka hanya bisa berputar-putar di sekitar kepalanya, melompat-lompat dari atas ranjang ke meja tulis, kemudian terbang dan bergantung di atap, terjuntai bagi benang basah yang lentur namun tiba-tiba mengeras dan jatuh bagaikan sebuah tongkat besi.
Dia terus mencoba membuka lembar-lembar mimpinya yang sudah mulai kusut. Impian yang terbentang luas namun sudah jarang tersentuh dan tak pernah muncul kembali menjadi kenyataan. Dia berusaha keras agar mimpi-mimpi yang pernah dia bangun itu dapat kembali dia temukan. Mimpi tentang jiwa yang kuat, yang mampu bertahan di tengah-tengah hempasan badai kehidupan, mimpi tentang sebentuk kesadaran yang selalu terkendali dan tak pernah keluar dari naluri dan nalar serta mimpi-mimpinya yang lain.
Tiba-tiba dia bangkit dari pembaringannya, duduk dan mengggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat seolah ingin membuang segala yang menekan kepalanya. Dia terus menggeleng sehingga rambut yang menutupi kepalanya berserakan di sana sini. Rambut itu kini tak lagi menempel pada kulit kepalanya. Ia hanya menutup bagian luar kepalanya dan akar-akarnya tak lagi berada di dalam kepala. Rambut yang dulu pernah ia banggakan, kini telah menjadi semacam beban yang selalu merepotkannya. Mereka selalu minta dikeramas setiap kali kepalanya menemukan sesuatu yang asing bagi dirinya. Pernah suatu ketika, saat dia menemukan sebuah pikiran untuk mengakhiri semua perjuangan dalam mewujudkan mimpi-mimpinya dan kembali menjadi seperti teman-temannya yang lain, hidup seperti orang kebanyakan, bekerja pada siang hari dan berbagi kebahagiaan dengan seorang perempuan yang disebut istri pada malam hari hingga suatu saat akan melahirkan dan membesarkan anak-anak.
Hampir saja semua itu menjadi sebuah kenyataan yang pasti akan dia jalani seandainya rambut di kepalanya tidak marah-marah dan minta untuk segera dicuci dengan air hujan. begitulah, setiap kali dia berpikir tentang sesuatu yang banyak dipikirkan orang, rambutnya selalu terasa gatal dan ia selalu minta siraman air, bukan air sumur ataupun air yang lain, tetapi hanya air hujan, air yang turun dari langit dan belum menyentuh apapun selain debu-debu yang terbang di udara karena tak mempunyai tempat yang pasti di muka bumi. Rambutnya senantiasa berbisik padanya ketika dia menyambut datangnya air hujan pertama yang menyentuh kulit kepalanya, “Jadilah seperti hujan. Dia turun dari tempat yang begitu tinggi, tapi bukan karena derajatnya turun dan menjadi rendah, tetapi karena dia ingin memberikan kehidupan bagi bumi.” Rambut itu berbisik seakan-akan dia mempunyai rongga mulut serta bibir yang mampu membuka untuk mengeluarkan kata-kata, tangisan, tawa, serta rintihan.
“Jadilah seperti debu yang terbang di udara untuk mencari tempat terbaik dan jangan pernah turun kecuali jika hujan dengan segala niat baiknya memaksa kamu untuk turun,” tambahnya.
Dia sering merasa pusing memikirkan maksud kata-katanya. Bukankah hujan dan debu hanyalah sesuatu yang lahir dan muncul karena proses alam. Mereka tidak mempunyai kehendak dan maksud apa-apa. Mereka hanya benda mati. Tetapi rambut, kenapa rambutnya kini bisa mengeluarkan kata-kata. Bukankah kata-kata itu hanya milik manusia yang hidup, bahkan jika sudah mati, manusiapun tak akan mampu mengeluarkan kata-kata. Akan tetapi, saat ini dia sering menjumpai orang yang tidak bisa berpikir dan mengucapkan apa-apa selain apa yang pernah dipikirkan dan diucapkan oleh orang lain dan dia tidak mau seperti itu. Dia ingin menjadi lain dari yang lain. Dia ingin memiliki dirinya sendiri. Dia tidak ingin seperti orang lain yang hidup seperti sebuah boneka dan selalu merekam dan meniru apa yang dilakukan dunia.
Orang-orang yang pernah dia kenal sudah tidak lagi dapat dia kenali. Semakin lama dia mengenal mereka, semakin asing mereka di matanya. Mulai dari rambut hingga ujung kaki, bahkan dari gerak hingga suara dan kata-kata yang mereka keluarkan semuanya sama satu dengan yang lain.Tak ada yang menarik dan membuatnya kagum, sehingga lama-kelamaan mereka menjadi semakin asing dan menjauh dari ruangan kecil yang ada di kepalanya. Ruangan yang selalu menjadi tempat singgah segala yang pernah dia lihat dan pikirkan.
Dia kembali menghadapi lembaran kertas yang merebahkan tubuhnya dengan nyaman di atas meja. Kertas-kertas itulah yang kini menjadi teman akrabnya. Mereka menjadi teman yang baik karena selalu mampu mengajaknya berbincang tentang segala yang tak pernah diperbincangkan orang lain.
Dia mulai menggerakkan pena yang ada di antara jari-jarinya. Dia memulai semuanya dengan sebuah titik kecil, kemudian menariknya menjadi sebuah huruf dan garis dan lain sebagainya. Titik itulah yang telah membuat hidupnya menjadi begitu berharga. Baginya, sebuah titik adalah sesuatu yang paling berharga dan bermakna, karena dari titiklah segalanya dimulai. Semua huruf tercipta dari sebuah titik awal. Kehidupan yang terbentang bagai tanah lapang ini juga dimulai dari sebuah titik kelahiran dan akan ditutup oleh sebuah titik yang disebut kematian.
“Menghidupkan Tuhan dan jiwa-jiwa yang telah mati.” Kalimat itu melintas di benaknya dengan cepat bagaikan sebuah peluru yang meluncur tanpa dapat ditangkap oleh mata. “Tuhan dan jiwa telah mati?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya dan membuat lingkaran-lingkaran yang ruwet dan kacau balau.
“Tuhan dan jiwa telah mati.” Dia terus memikirkan kata-kata yang sempat dia tangkap dengan kekuatan pikiran dan perasaannya tersebut. Lama dia memikirkannya, lalu dengan cepat dia menyambar kalimat yang terasa asing itu dan menyembunyikan di balik sebuah tirai yang memisahkan otak dan hatinya. Dia menyimpannya rapat-rapat, menutupnya dengan kain tipis yang terbuat dari anyaman kata-kata yang halus dan lembut bagaikan kain sutera.
Begitulah, setiap kali dia menemukan sebuah kalimat ataupun kata-kata yang dirasa cukup menarik, dia segera menyimpannya dalam kotak kecil yang memang dia sediakan untuk sebuah kalimat ataupun kata yang menurutnya cukup menarik dan belum ternoda. Dia menyimpannya rapat-rapat, membungkusnya dengan selembar kain tipis yang terbuat dari kata-kata yang teranyam dan terjalin rapi. Anyaman itu pulalah yang selalu menemaninya dalam hidup ini. Baik saat tidur maupun terjaga, dia selalu memakai pakain yang terbuat dari kata-kata. Bukan kata-kata biasa seperti milik orang-orang, tetapi kata-kata yang selalu dia jaga agar tidak kotor dan ternoda oleh kotoran yang datang dari kehidupan yang dia rasakan semakin jorok dan menjijikkan.
Selain itu, dia juga masih punya kata-kata khusus yang selalu dia simpan dan dirawat dengan baik dalam batok kepalanya. Kata-kata yang hanya keluar pada saat-saat yang sangat dibutuhkan, saat-saat penting seperti saat berbicara dengan orang tuanya atau saat mengutarakan maksud dan keinginannya. Tapi saati ini, kata-kata itu telah kocar-kacir oleh sebuah ledakan. Ledakan yang muncul karena sebuah gumpalan putih yang entah keluar dari mana; gumpalan yang sebelumnya tampak indah bergaris-garis namun akhirnya menjadi sebuah sumber malapetaka yang telah menghancurkan hampir separoh harta simpanannya.

* * *

Sayup-sayup dia mendengar sebuah suara. Sebuah suara yang terasa sangat akarab di telinganya namun tak dapat dia kenali. Pada mulanya suara itu terdengar lirih namun semakin lama ia terdengar semakin keras dan mulai memekakkan telinganya. Dia menempelkan telapak tangannya ke daun telinga yang tampak memerah sambil mencari-cari asal suara. Dia sudah mencoba berusaha sekuat tenaga mencari dari mana suara itu keluar dan siapa yang telah melepasnya, namun semuanya sia-sia. Dia tidak bisa menemukan pemilik suara itu di luar dirinya, maka dia mencoba memperhatikan dirinya sendiri, meneliti satu persatu anggota badannya, siapa tahu ada anggota badan yang lain yang mampu mengeluarkan suara selain bibir dan rambutnya.
Setelah cukup lama mencari, akhirnya dia menjadi tahu bahwa suara itu berasal dari sesosok makhluk yang berdiri dengan sombong di antara hati dan otaknya. Hati berada di dada, sementara otak berada di kepala, lalu di mana ia berdiri. Apakah ia berada di tenggorokan, leher, ataukah di pundak? Dia tidak tahu dengan pasti. Yang jelas, ia tampak berdiri di antara keduanya. Kejelasan yang tak dapat ditangkap oleh mata, namun tampak jelas oleh perasaannya. Dia berdiri, bertolak pinggang sambil sesekali tertawa dan sesekali berteriak-teriak seolah ingin menganggu ketenangannya.
Dia mulai mencoba mengenali, siapa yang berdiri dengan penuh kesombongan dalam dirinya itu. Apakah ia yang disebut jiwa ataukah ia setan yang menjelma menjadi sesosok makhluk yang memang selalu mencoba menganggu manusia. Dia mengamatinya dengan teliti dan tiba-tiba dia terperanjat kaget ketika tahu bahwa sosok itu sama persis dengan dirinya, mulai dari bentuk wajah, rambut, ukuran tubuh hingga pakaian yang ia kenakan. Dia menjadi heran dan perasaan itu lama-kelamaan berubah menjadi rasa takut yang sangat mencekam. Ketakutan yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya. Sepanjang waktu yang telah dia jalani, belum pernah dia merasakan ketakutan seperti ini. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dalam tubuhnya akan muncul sesosok tubuh yang sama persis dengan tubuh yang telah dia bawa kemanapun dia pergi. Tubuh yang dia anggap hanya miliknya dan tak pernah dimiliki oleh orang lain, tapi kini, ia telah tersaingi oleh sosok lain, yang tidak muncul di alam maya, tidak berpijak di bumi dan tidak menghirup udara seperti dirinya. Sosok itu berdiri dengan congkaknya di dalam dirinya, menghirup aliran darahnya dan mengeluarkan suara-suara yang memekakkan telinganya.
Sosok yang tampak angkuh itu terus menganggu ketenangannya dan mulai mencoba menghancurkan kata-kata yang tersimpan dalam kotak kecil di kepalanya. Ia terus berusaha mengacaukan semua yang selama ini telah tersusun dan teratur dengan rapi. Dengan seluruh kekuatan dan akal liciknya, sosok yang benar-benar menyerupai dirinya itu mengumbar kejahatan, bukan pada dunia dan orang lain, tetapi pada dirinya, pada alam kejiwaan yang telah menghidupinya. Perjuangan panjang dia lalui untuk menyingkirkan sebentuk kejahatan baru yang lahir dalam dirinya. Kejahatan yang akan menghancurkan seluruh kekayaan dan impiannya serta kata-kata yang telah dia rawat dan dia pelihara selama bertahun-tahun lamanya.



< Back >