Ditatapnya cermin yang memantulkan sosoknya. Tiba-tiba saja ia benci dengan sosok yang berdiri di hadapannya. Ia tidak seperti sedang berhadapan dengan bayangannya, tetapi seseorang yang lain; lemah dan tidak bersemangat dengan bola mata yang kosong.
"Kau memang bajingan!" Suaranya geram. Tangannya terjulur ke leher, meraih dasi warna biru dipenuhi garis lintang merah darah. Tiba-tiba kaca itu pecah. Dari retakannya mengalir darah segar, menetes ke lantai.
***
"HARI ini saya akan dapat pekerjaan." Zulfani menatap sosoknya di cermin. Gagah sekali. Adiknya, Yusup, yang baru pulang dari salat Subuh di surau, mendengus sambil masuk kamar. Entah sudah berapa kali didengarnya ucapan serupa, tetapi selalu tidak ada yang berubah. Setiap kali Zulfani pulang, hal yang sama dibawanya ke rumah; keluhan bahwa ia ditolak lagi.
"Kau tak yakin kan?" Zulfani masih senyum-senyum. "Lihat, sekarang saya pakai dasi."
"Bukan tidak yakin, tetapi tidak percaya." Yusup mencibir. "Orang tidak akan mempekerjakanmu karena dasi itu."
Zulfani berlagak tidak perduli meskipun hatinya kecut diperlakukan seperti itu. Ia memperbaiki jatuhan dasinya, warna biru dipenuhi garis lintang merah darah. Sorot matanya menyimpan rasa bangga yang hebat.
"Tidak usah berangkat, kita memulung saja!" Yusup berteriak dari kamar. "Hasilnya jelas, kau tahu sendiri kan. Bahkan, kau yang menghabiskan seluruh pendapatanku."
Suryani, ibunya, sudah terbiasa mendengar omongan yang pedas itu. Sebetulnya, ia juga sependapat dengan Yusup, bahwa Zulfani kurang bisa diandalkan. Setiap hari, kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang dengan membuat lamaran kerja dan ongkos mengantarnya. Tetapi sebagai orang tua, tentu saja ia tidak boleh bersikap seperti itu, melainkan adil hingga tidak seorang pun dari anak-anaknya yang merasa dianaktirikan.
"Yusup, jaga bicaramu." Suaranya lembut, mengingatkan agar Yusup menghentikan caci-makinya. "Zulfani juga berusaha, tidak tinggal diam."
"Yang penting hasilnya, Bu. Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau untuk jadi pengangguran. Keruan aku yang disekolahkan dulu."
Mendadak Suryani merasakan ada meledak di jantungnya. Tulang-belulangnya mendadak rapuh. Perlahan-lahan ia rasakan darahnya mengalir ke ubun-ubunnya, begitu deras hingga bola matanya yang tua segera memerah. Serta-merta ia ingat almarhum suaminya. Melihat pemandangan itu, wajah Yusup pucat. Segera didekatinya ibunya, "Maaf, Bu, aku idak bermaksud mengungkit-ungkit."
Yusup menghela nafas. Diliriknya Zulfani yang masih saja mematut diri di cermin.
"Sudahlah, Sup!" Suara ibunya lembut. "Doakan saja supaya Zulfani cepat dapat pekerjaan."
Yusup masuk ke kamar. Ia memang harus mengalah. Dari dulu, sejak almarhum ayah masih hidup. Ayah sendiri sudah mengkondisikan agar setiap yang paling tua mendapat penghormatan lebih dibandingkan yang lebih muda. Tetapi ayah berbeda dengan ibu, yang tidak pilih kasih. Ayah sangat membanggakan Zulfani, entah apa alasannya.
"Ibu berangkat. Jangan lupa bangunkan adik-adikmu sebelum pergi." Suryani bergegas menyelempangkan selendang buruk di pundaknya. Diraihnya bakul ayaman bambu, dibawanya dengan cara menjepit pada ketiaknya.
Yusup mendekati tiga adiknya yang masih terlipat di lantai; tumpang-tindih seperti onggokan barak-barang bekas yang diletakkan Yusup di samping rumah. Satu per satu dihentakkannya hingga mereka terlonjak. "Hayo bangun!"
Zulfani tidak perduli ketiga adik-adiknya mengeluh atas perlakuan Yusup. Dia asik mengagumi dasi di lehernya. Senyum-senyum.
"Sudahlah!" kata Yusup dari halaman. "Jangan lupa, kau pulangkan kemeja Kak Markasan kalau sudah selesai. Jangan sampai istrinya yang cerewet mempersoalkannya."
Zulfani diam saja. Dia maklum sikap Yusup yang sinis.
***
"Saya akan dapat pekerjaan hari ini." Zulfani membayangkan tidak sedang berharap sambil meninggalkan rumah. Dia membawa map warna biru muda berisi berkas lamaran. Dia pupuk semangat dalam dirinya dengan hal-hal indah. Dia berjalan di gang perkampungan yang masih sepi menuju jalan raya. Dasinya berkibar-kibar ditiup angin. Dia menyiulkan sebuah lagu yang riang hingga pagi seperti ikut menyanyi. Biasanya, setiap kali melewati gang itu untuk berangkat ke kota dengan tujuan sama, hatinya selalu dirundung ketidakyakinan. Dia membayangkan akan kecewa lagi. Meskipun begitu, dia tidak pernah menyiapkan diri untuk kecewa, sehingga ketika lamarannya ditolak dia langsung lesuh. Sekarang, dia seperti tidak berpikir akan kecewa lagi. Tanpa terasa dia sudah tiba di jalan raya. Dicegatnya sebuah angkot yang akan membawanya ke kota.
"Kau begitu riang." Salah seorang penumpang menegurnya. Dia tersenyum.
Sebagian besar dari penumpang di dalam angkot adalah ibu-ibu yang membawa bakul-bakul kosong. Dia selalu bertemu dengan mereka setiap hari. Mereka hendak ke pasar membeli berbagai jenis sayur yang akan dijajakan keliling di kompleks-kompleks perumahan, sama seperti ibunya.
"Penampilanmu berbeda?" tanya salah seorang.
Dia mengangguk.
"Sudah dapat pekerjaannya ?"
Dia menggeleng.
"Penampilanmu seperti orang yang sudah mendapat pekerjaan."
"Saya masih mencarinya, Bu."
"Sejak dulu."
"Saya tidak perduli sejak kapan."
"Kau begitu gigih."
"Terima kasih, Bu."
Seperti biasa, mereka kembali berbincang-bincang. Mula-mula mereka bicara tentang dirinya, kegigihannya dalam mencari pekerjaan, dan semangatnya yang tak kunjung padam. Kemudian mereka bicara soal pekerjaan ibu-ibu itu, yang sejak pertama sekali bertemu tetap saja menjadi pedagang sayur keliling. Tidak ada yang berubah, kecuali bahwa Zulfan sekarang mengenakan sepotong dasi di lehernya.
"Kalau saja anak saya seperti kau," kata salah seorang ibu. "Anak saya malah cepat kecewa. Baru tiga kali ditolak lamarannya, langsung patah semangat. Kemarin dia ditangkap kepergok mencuri di swalayan. Saya malah ketiban sial harus menebus Rp500.000 kepada petugas agar bisa bebas. Dapat uang dari mana saya," kata salah seorang.
"Anak saya tidak seperti kau. Kalau saja semangatnya tinggi, pasti sudah bisa membantu meringankan beban keluarga yang harus saya pikul sendirian. Dia tidak pernah sadar bahwa ayahnya sudah dan sakit-sakitan," kata yang lainnya.
Tanpa terasa obrolan mereka terus mengalir seperti laju angkot yang kemudian berhenti begitu tiba di kota. Semua penumpang turun, Zulfani paling terakhir.
"Mudah-mudahan kali ini kau berhasil," kata salah seorang ibu sebelum mereka berpisah.
Zulfani mengangguk. Ia bayangkan pekerjaan yang sudah menunggunya. Ia bisa memastikan karena menerima surat panggilan.
***
ZULFANI kenal betul daerah yang akan didatanginya. Dia merencanakan akan jalan kaki saja ke sana, selain menghemat ongkos juga menenangkan degub jantungnya yang selalu saja gemerusuh setiap kali akan melakukan sesuatu. Dia juga berpikir, sepagi ini belum ada perusahaan yang buka, sehingga dia punya banyak waktu jalan kaki untuk sampai di kantor itu.
"Apa betul ini kantor pengacara yang sedang buka lowongan itu ?" Zulfani menegur pedagang gerobak di halte depan kompleks perkantoran itu.
Sarmin, pedagang itu, merasa terganggu dengan kehadirannya. Diletakkannya piring berisi mie rebus yang hendak disantapnya. "Sampean nanya apa tadi ?"
"Kantor pengacara itu ?"
"Pengacara apa ?"
"Saya mau melamar."
"Pekerjaan ? Pekerjaan apa ?"
"Saya dapat panggilan. Lihat ini !" Zulfani menunjukkan selembar surat panggilan dengan kop sebuah kantor pengacara.
"Ya, betul. Ini kantornya." Sarmin menunjuk sebuah ruko di belakangnya, berjejer dengan gedung-gedung lain. "Itu kantor yang akan kau datangani."
Tiba-tiba Sarmin tergelak.
"Ada apa ?"
"Lihat itu ! Gedung itu meledak kemarin. Ada orang yang memasang bon di dalam gedung. Kabarnya lawan perkara klien yang dibantu pengacara di kantor itu yang memasang bom itu karena kasusnya kalah di pengadilan."
Zulfani tidak percaya. Diamatinya gedung yang ditunjuk Sarmin. Karena kurang jelas, didekatinya gedung itu. Dicocokkannya alamat pada surat dengan nomor yang tertera di puing-puing gedung itu. Mendadak tubuhnya bergetar sangat hebat, dan sendi-sendinya merapuh.
Ia ingat omongan Yusup. Kepalanya seketika jadi kosong. Ia melangkah tanpa tahu tujuan. Ketika tiba di rumah, ia langsung ke kamar mandi. Mematut diri di kaca. Ia diserang oleh kebencian yang hebat kepada diri sendiri. Ditatapnya sosoknya pada cermin itu, dan kebenciannya makin memuncak.
Tiba-tiba semua orang di dalam rumah tersentak mendengar suara kaca pecah. ***