Jonathan keluar dari kamarnya, dengan mata yang tidak pernah tersapu cahaya selama 9 jam. Ia berjalan menuju kamar mandi, yang kebetulan tidak jauh, dengan langkah gontai. ‘Oh, matahari! Mengapa engkau sudah siap meneriakkan terikmu? Aku masih lelah,’ begitu kesah Jonathan dalam hati. Ungkapan yang keluar atas desakan keluhnya. Menuju kamar mandi, ia melewati ruang dimana seorang perempuan dewasa menyajikan hidangan cepat untuk dinikmati orang-orang seisi rumah. Jonathan tidak terlalu memperhatikan wanita itu. Ia sedang berusaha keras membuat keluhnya terdiam.
“Jon, habis mandi kamu makan yah! Tante sudah menyiapkan nasi goreng buat kamu,” ucap wanita.
“Ah, tante! Tante memang tiap pagi masak nasi goreng,” balas Jonathan. Ia seperti sudah terbiasa dengan basa-basi tantenya.
Sebelum ke kamar mandi, Jonathan mengambil handuk yang dijemur sedikit di luar ruangan, tidak jauh dari kamar mandi. Ketika hendak mengambil, tiba-tiba ia terhenyak. Matanya agak terbelalak, bukan karena apa yang ia lihat, tetapi karena apa yang ia dengus. Anyir yang menerabas bulu-bulu hidungnya, dengan kasar mengusik pernafasannya. Bau yang sangat menyiksa. Jonathan lantas memberi kesimpulan bau itu dari ruangan tidak jauh dari situ. Ruangan yang dimaksud memang terkunci sejak sekian lama. Dulu itu pernah digunakan, entah untuk apa.
“Jon, gantian mandinya!”
“Iya!” ucap Jonathan singkat. Jonathan menjawab ucapan seorang pria berusia 40 tahunan. Pria itu adalah suami perempuan yang sekarang sudah selesai menyajikan sarapan.
“Jon, sepertinya kamu nanti pulang lebih awal. Dosen-dosen mau rapat siang nanti. Kamu nanti ada mata kuliah tante kan?” ucap perempuan di seberang Jonathan. Tiga orang penghuni rumah kini sedang menyantap sarapan, menyerap energi untuk tubuh mereka masing-masing. Bibi Jonathan adalah dosen di tempat ia kuliah. Dan perkembangan yang terjadi selalu dibicarakan kepada Jonathan.
“Eee ... ya. Wah, asik pulang cepat,” ucap Jonathan sedikit girang. “Oyah, tadi waktu aku mengambil handuk, aku diganggu bau bangkai. Ahh ... gak tahan deh! Ntar, aku cari deh dan aku buang sekalian.”
“Oh, itu. Mungkin dari gudang. Udah, paling bangkai tikus. Kamu biarin aja biar tante yang buang nanti.”
“Udah, biar aku aja gak apa-apa kok,” ucap Jonathan hendak menawarkan kesediaan.
“Sudahlah, kamu santai saja. Nanti tante bisa suruh Mang Dayat,” balasnya. Mang Dayat adalah tukang kebun di rumah itu. Keluh di hati Jonathan seperi kegirangan mendengar ini. Baginya akan ada waktu lebih untuknya bermalas-malasan.
“Oya yah, Mang Dayat ke mana sih? Udah tiga hari nggak masuk,” ucap pria di sebelah wanita.
“Katanya sih sakit. Nggak tahu sakit apa,” jawab istrinya.
Mereka melanjutkan santap pagi mereka. Obrolan-obrolan berlangsung dengan ringan, demi membunuh kesunyian pagi di kala mereka makan. Sebuah pemandangan yang begitu biasanya terjadi di tengah penghuni rumah ini. Setelah makan, dan semua beres mereka meninggalkan rumah dalam keadaan kosong, menuju lahan mereka masing-masing.
***
Kunci pintu depan terlepas. Seseorang telah tiba mengisi kehidupan di rumah yang beberapa waktu lalu sunyi. Yang datang adalah penghuni termuda. Ia masuk rumah dengan gerakan cepat, seperti ada sesuatu yang ingin cepat dilakukan. Dering telepon yang membuat tubuhnya bergerak dengan tergesa.
“Halo!”
“Jon, ini tante. Kamu sudah pulang yah? Bisa tolong tante gak?” suara bibinya.
“Tolong apa?”
“Eee ... di meja depan televisi ada segerendel kunci. Tolong kamu antar ke sini yah! Tante, masih ada rapat ni.”
“Ya, tunggu saja,” jawab Jonathan.Ia sudah dua tahun tinggal di rumah ini. Berkat ‘jasa’ tantenya ia bisa diterima di universitas pilihannya. Dan ia memutuskan tinggal bersama tantenya, menurutnya lebih hemat. Kebetulan juga universitas itu tidak jauh. Bisa dicapai dalam waktu lima belas menit kalau berjalan kaki.
Belum lama telepon ditutup, telepon itu berdering lagi. Sejenak Jonathan mengira itu bibinya lagi, mengungkapkan sesuatu yang terlupa. Namun mendengar suara laki-laki di seberang sana, Jonathan berpikiran lain.
“Jon, kayaknya ada masalah ...”
“Bim, kabar lo gimana? Lo mau ngomongin uang yah?
“Iya Jon, begini ...”
“Kos kamu nggak jauh kan? Kamu datang aja. Nggak perlu lewat telepon ngasitaunya. Oke?”
“Tapi ....” dan ia tidak sempat melanjutkan. Jonathan tahu bahwa ada yang tidak beres. Oya, ada yang terlupakan. Jonathan biasa menambah uang sakunya dengan menjual narkotik. Bisnis gelap. Dan pemuda sebayanya yang bernama Bimo adalah salah satu ‘pasien’, yang kelihatannya punya masalah dengan Jonathan.
Tidak lama berselang sang ‘pasien’ datang. Jonathan menyambut dengan senyuman, meski ia sudah menangkap sinyal ketidakberesan. Di tangannya tergenggam secangkir kopi yang sudah mau habis.
“Oh, gimana Bim?” Pertanyaan singkat namun membuat hati Bimo seakan habis dikagetkan guntur.
“Mmm ... anu ... aku belum bisa bayar. Ada masalah keuangan kampus. Lagipula bapakku ...”
“Udah ... kamu nggak perlu nerangin apa-apa,” potong Jonathan. “Gak ada gunanya, toh kamu tetap belum bisa bayar. Gini aja ... kita bicarain gimana kamu ngelunasinya. Masuk aja dulu!”
Sang ’pasian’ masuk dengan hati diliputi awan kekhawatiran. Sikap santai sang ‘dokter’ tidak mengurangi kengeriannya. Ia kenal Jonathan. Selalu santai, tetapi ia seperti memendam neraka di hatinya dan sewaktu-waktu neraka itu akan pindah ke dirinya.
Sang ‘pasien’ terduduk dengan galau masih merangkulnya erat. Sang ‘dokter’ menghirup, menghabiskan kopi dan menaruh cangkir itu di atas meja tamu. Tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat ia meraih kepala pasiennya dan membenturkan dengan keras ke meja jati di depannya. Darah mengucur deras, kekhawatiran yang beralasan. Sang ‘pasien’ memegangi hidungnya, dan bergerak entah untuk apa. Kegalauan makin memeluknya dengan sangat erat. Ia panik dan tidak tahu bagaimana mengusirnya. Bayangan demi bayangan melintas, bayangan akan sebuah mimpi buruk.
“Kapan kamu mau bayar, heh?” ucap sang ‘dokter’ sambil melayangkan kakinya ke perut sang ‘pasien’.
Degup jantung pemuda bernama Bimo makin lama makin kencang, memaksa nafasnya makin keras. Kepanikan ditambah kegalauan yang mencengkram memaksanya melakukan. Lama-kelamaan nafasnya makin tidak teratur. Ia mengambil sesuatu dari kantong celananya. Dengan cepat Jonathan merebutnya.
“Oh, kamu asma. Hmm ... kamu sadar gak si kalau drugs gak bagus buat penyakitmu?” jawab Jonathan santai, tidak peduli bahawa inhaler itu sangat dibutuhkan Bimo.
Jonathan mengambil cangkir yang sudah tidak menyisakan apa-apa dan menuju dapur. Sementara inhaler tetap ia bawa. Bimo bernafas seperti orang yang dilelapkan di bak penuh air, dan Jonathan sama sekali tidak peduli. Ia memang dengan sengaja menyiksanya.
“Oya, karena kamu belum bisa ngomong, nanti kamu kasi tahu kapan kamu bayar ya?” ucap Jonathan sejenak menghentikan langkahnya menuju dapur.
Jonathan menuju kran tempat mencuci sebelum meracik kopi. Ia membersihkan ampas-ampas sisa kopi yang tadi. Dengan santai Jonathan membuka toples berisi kopi. Satu sendok cukup. Ia lalu mencampurnya dengan lima sendok gula. Uap lalu mengepul ketika ia membuka thermos. Dan yang paling Jonathan suka adalah saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir. Ia senang melihat kopi gula yang larut begitu cepat ketika air panas itu membasahinya. Setelah Jonathan menuang air dingin, ia mengaduk lalu menghirup perlahan.
Bimo tampak tidak bergerak. Dokternya datang, berniat mendiagnosa lagi.
“Oh, kayaknya kamu sudah bisa ngomong,” ucap Jonathan sambil perlahan menghirup kopinya. Tidak lama ia melempar inhaler dan jatuh tepat di tubuh Bimo. Ia menghirup lagi kopinya.
“Jadi kapan kamu mau bayar?” Bimo tidak menjawab. “Okelah, gini aja ... sampai minggu depan kamu nggak bayar, kamu bisa membayarnya untuk rumah sakit. Setuju gak?” Sekali lagi Bimo tidak menjawab.
“Setuju gak?” Jonathan berteriak lebih keras. Tidak dijawab, ia kesal. Lalu ia menaruh cangkirnya di meja dan mecengkram tubuh Bimo. Namun ketika melihat wajah Bimo, ia seperti menatap cahaya yang sangat menyilaukan. Ia ingin terpejam, namun syarafnya tidak menginginkan. Kegagetannya memaksa untuk tetap mendelik, melihat kenyataan yang terjadi.
Wajah Bimo tidak lagi memancarkan aura kehidupan. Ia mati dengan mata terbelalak. Asmanya sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan hingga kejadian tadi membuatnya tidak bisa bertahan. Melihat Bimo tidak bernyawa, Jonathan lemas. Ia membaringkan tubuhnya sejajar dengan Bimo. Ia pucat pasi, sekilas orang yang sempat melihat ini seperti melihat dua mayat yang terbujur lunglai.
***
Menit demi menit terbuang. Sementara itu Jonathan masih lemas. Lalu ia terbangun. Pelan-pelan ia berdiri, menatap mahakaryanya yang sayu tanpa jiwa.
“Dewa kematian, ternyata engkau tadi datang tanpa kuundang. Seharusnya engkau berterima kasih padaku telah menjadi sabitmu, mencabut nyawa anak malang ini,” Jonathan berucap seolah ada yang mendengarnya.
Jonathan lalu sadar bahwa pamannya akan pulang dalam waktu tidak lama. Tentu ia tidak ingin melihat mayat Bimo.
“Oh panik, bisakah kau diam! Aku ingin bertindak tenang tanpa kau usik.” Sekejap matanya menangkap sebuah benda yang teronggok di atas meja depan televisi. Segrendel kunci yang seharusnya ia beri ke tantenya. Sekarang ia ingat. Setahunya kunci itu pernah dipakai tantenya untuk membuka kamar di dekat jemuran handuk. Ini tidak mungkin salah. Otaknya memberinya ide untuk menyembunyikan Bimo malang ke dalam situ sementara.
“Oke Bimo, kamu tidur di tempat lain saja,” ucapnya. Ia lalu mengambil segrendel kunci itu lalu mencengkram kedua tangan mayat itu dan menyeretnya.
Di depan kamar, tiba-tiba Jonathan ingat lagi akan anyir yang menyengat yang keluar dari kamar itu dengan beringas hendak menggangu nafasnya. Jonathan menutup hidungnya dengan kerah kemejanya. Tangan kanannya merogoh saku celananya, mengambil segrendel kunci. Satu persatu kunci dicoba dan benar dugaannya. Salah satunya mampu melepas kunci kamar itu. Ketika dibuka, bau busuk itu semakin menggila. Dan selain bau, udara yang sangat pengap dari kamar itu juga membuat mata Jonathan perih. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang membuat anyir ini begitu kuat.
Jonathan menyeret masuk tubuh tak bernyawa. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kamar ini ditambah mayat baru ini. Makin lama Jonathan makin tidak tahan. Ia melepas seretannya dan cepat-cepat keluar. Tidak tahan dengan rasa mual itu, ia muntah begitu saja, sementara mayat itu masih setengah masuk. Dengan deras apa yang telah disantapnya dan sempat berdiang di lambungnya keluar melewati mulutnya.
Selesai muntah, ia berjalan menjauh dan terduduk lesu. Ia benar-benar tidak mau tahu asal bau busuk itu. Wajahnya pucat dan matanya sayu. Kesegaran seolah telah terkuras keluar bersama dengan muntahannya.
“Jon, om pulang!” suara pria dari kejauhan mengagetkan Jonathan. Pertama ia menganggap itu biasa, namun melihat mayat masih setengah masuk, ia panik. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berlari ke kamar itu. Tanpa peduli ia menembus kabut anyir yang menyelimuti kelam di depannya. Ia mendorong kaki Bimo, namun seperti tertahan sesuatu. Lalu dengan paksa ia menutup pintu, dan ia berhasil. Entah bagaimana posisi Bimo di dalam sana.
“Jon, kamu sedang apa?”
“Enggak, cuma lewat doang.” Pintu sudah tertutup ketika Jonathan mengatakannya. “Om pulang lebih cepat.”
“Lho, memang saya biasa pulang jam berapa?”
Basa-basi Jonathan dibalas mentah, seperti yang sering ia lakukan setiap kali paman dan bibinya berbasa-basi. Ia lalu meninggalkan kamar itu, menjauh dari sengatan anyir.
“Jon, itu apa?”
Jonathan sontak kaget. Perasaannya mengatakan bahwa kamar sudah tertutup, bagaimana pamannya bisa melihat. Kontan ia bergerak menuju kamar, mencoba menghalangi pamannya mendekati kamar. Lanjutnya, “Nggak, ini kan ...”
“Itu apa di depan pintu ... kamu habis muntah ya?”
“Oh, iya ...” sejenak Jonathan lega. “Iya, tadi aku tidak tahan sama bau ini.”
“Kamu bersihin sana!”
“Iya ... iya!” Jonathan bergegas mengambil pel. Belum sempat ia menuju tempat muntahan,seseorang memanggilnya.
“Jon, kunci yang tante minta mana?”
Suara itu bagai petir menggelegar. Ia lupa sesuatu. Tentu semua yang memahami masalah ini dan mendukung Jonathan tidak menganjurkannya untuk memberikan kunci yang dimaksud.
“Tan, aduh tadi Jon cari di mana-mana nggak ada tuh.”
“Lho, bukannya ada di meja depan televisi?”
“Iyah, nggak ada juga. Tante nggak rapat?”
“Istirahat setengah jam. Nanti dimulai lagi. Ya udah kalo gitu. Tadinya tante mau mencari bangkai di kamar itu sore ini. Tapi ya sudahlah, besok saja. Kalau tidak ketemu, yah buka paksa saja,” ucapnya santai. “Kalau gitu tante pergi lagi ke kampus.”
“Oke,” jawab Jonathan. Ia punya waktu satu hari untuk membereskan kecerobohannya. Melihat bibinya pergi, Jonathan bergegas menuju kamar dimana Bimo berdiang. Ia hendak menguncinya, karena ia sadar itu belum terkunci, setelah ia mnegepel muntahannya.
Jonathan mencoba menguncinya, tetapi mengalami kesulitan dengan itu. Ia merasa ada yang mengganjal, mayat Bimo pada posisi yang tidak benar. Jonathan lalu membuka pintu dan kembali merasa sangat tersiksa dengan anyir yang makin merebak.
Jonathan menggantung kerah kemeja di hidungnya, sementara tangannya mereposisi mayat Bimo. Selagi melakukannya, ia menemukan sesuatu. Sebuah karung goni yang sesak entah oleh apa. Jonathan melihat benda itu sepertinya penyebab bau yang menyengat. Jonathan penasaran. Ketika mendekati karung itu, ia yakin bahwa inilah yang membuat isi lambungnya lari dari tempatnya berdiang. Baunya semakin menusuk, ia terpaksa menggunakan tangan kanannya untuk menutup hidungnya.
Jonathan melihat darah, yang sudah tidak segar lagi menempel di karung itu. Tangannya meraba karung itu, mencoba membukanya. Ketika jawaban akan didapat, tiba-tiba ia merasa seolah palu godam menimpa lehernya. Hentakan yang sangat keras hingga begitu saja dunia mimpi menghampirinya. Di tengah buaiannya ini, pikiran Jonathan otomatis memberitahunya bahwa kiprahnya berakhir.
***
“Apa yang Ibu lakukan adalah tindakan benar,” ucap seorang pria berbadan tegap. Ia adalah seorang polisi. Dari kantornya bisa dilihat bahwa ia adalah seorang perwira yang memiliki kuasa di tempat itu.
“Tadi saya kaget karena keponakan saya sibuk dengan orang yang terbaring di depannya. Saya curiga, lalu saya perhatikan dari jauh, ternyata itu sebuah mayat. Saya takut, lalu ia saya pukul dari belakang dengan sapu sampai pingsan, “ ucap perempuan yang duduk di seberang polisi itu. Perempuan itu adalah bibi Jonathan, dan pamannya duduk di sampingnya. Sedangkan Jonathan sendiri ditahan di tempat lain.
“Saya tidak menyangka keponakan saya bisa bertindak seperti itu,” ucap paman Jonathan. Perasaannya sejak mengetahui kejadain ini selalu dilingkupi keheranan.
“Iya,memang kadang ada orang yang di depan kerabatnya tidak menunjukkan bahwa ia adalah kriminal,” ucap polisi itu seolah menyadarkan paman Jonathan.
“Lalu bagaimana masa depannya?” tanya bibi Jonathan.”
“Oh, itu. Itu nanti diputuskan pengadilan. Tetapi melihat bukti yang ada ia tidak mungkin lepas dari jerat hukum,” jawab polisi itu. Lanjutnya, “Yah, tetapi sangat disayangkan anak semuda itu akan mendekam lama di penjara. Apalagi setelah ditemukannya karung yang isinya sisa mutilasi. Tadi ada laporan bahwa karung itu berisi anggota tubuh dari lima orang yang berbeda. Kami sedang menyelidiki keberadaan potongan lainnya dari keponakan anda. Yah, kalian beruntung tidak menjadi sasarannya.”
Bibi dan paman Jonathan sejenak lega dengan kalimat akhir polisi itu, namun sepertinya terlihat bahwa mereka khawatir dengan masa depan Jonathan. Bisa saja keponakan mereka divonis penjara seumur hidup, atau lebih mengerikan lagi, hukuman mati.