Hasni's Story Galery


Kuda Kayu Bersayap
Cerpen Yanusa Nugroho

Komidi putar itu masih saja berputar. Kuda-kuda kayu yang naik turun dengan anak-anak riang di punggungnya itu, sungguh-sungguh menciptakan warna-warni kegembiraan kanak-kanak. Kusaksikan anakku berada di antara mereka dengan sebaris giginya yang putih bersih, menebarkan kegembiraan hatinya. Seolah dia ingin membagi suka, dan melupakan duka. Mereka seakan berada di punggung kuda dongeng yang akan membawa mereka terbang ke awan-awan kebebasan tanpa batas.

Lampunya yang gemerlapan, silih berganti menerangi wajahku. Merah, kuning, hijau, biru, bergantian mengoleskan nuansanya ke wajahku. Sesekali aku membalas lambaian tangan anakku, yang tak henti-hentinya tertawa riang. Gelak tawanya timbul tenggelam di antara alunan musik yang mengiringi komidi putar itu. Sekali dia melintas, kemudian menjauh, menghilang ke sisi sebelah sana, lalu muncul lagi, melintasiku dan menghilang lagi. Begitu berulang-ulang.

Kepalaku terasa pening. Sesekali kupijit keningku.
"Masih pusing, ya?" bisik Nina, istriku. Ada nada khawatir di suaranya.
"Sedikit.." jawabku singkat.

Nina diam, tapi aku tahu dia pasti merasakan sesuatu yang -entah mengapa-masih saja muncul dalam pikiranku. Tangannya yang masih selembut dulu, tiba-tiba meremas jemari tanganku. "Dingin sekali. Masuk angin, ya? Kenapa tadi pergi, kalau tahu badannya nggak enak?"

"Nggak apa-apa, kok.."

"Kalau tahu begini, kan , bisa aku yang ngajak Rani..Mas. Kan , bisa istirahat di rumah.."
"Sudahlah, nggak apa-apa, kok. "

Nina cuma menghela nafas. Kupandangi wajahnya. Dan matanya yang bulat jernih itu menatapku khawatir. Ingin aku menciumnya saat itu juga, untuk menghapus kekhawatirannya. Namun, kurasa sebuah ciuman tak akan menghapus rasa was-was yang telah menahun di pelupuk matanya.

Sambil memandangi bidadariku yang timbul tenggelam di antara keriangannya di punggung kuda kayu itu, kupeluk Nina. Kudekap erat dia. Entah mengapa, aku diserang rasa khawatir yang aneh.

Kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan ketika malam itu kami harus menyisir kawasan hutan di timur kota. Di sana yang kami temui hanyalah kegelapan penuh teka-teki. Hitam menganga yang bisa menciptakan apa saja. Kepekatan yang bisa saja mengubah kesunyian menjadi pesta ledakan mesiu. Di sini pula, dua hari yang lalu, Trisno tewas. Anak Kediri itu, baru sebluan ditugaskan di sini dan harus ikut patroli rutin. Dia dihajar peluru tanpa pernah sempat mengucapkan sepotong kata pun.

Meskipun dalam kondisi yang harus selalu siaga dan nyaris tak punya kesempatan ngobrol, aku dan Trisno sempat akrab. Dia ternyata tak tahan melihat darah. Aku ngakak, dan mengatakan bahwa dia telah salah memilih karir sebagai tentara.
"Ya, mbuh, Mas.. saya tidak pernah bercita-cita, apalagi memilih karir di sini.." jawabnya kalem, sekalem penampilannya.

Di kesempatan lain, ketika kami patroli, dia juga bercerita bahwa pacarnya sudah dipinang dan bulan berikutnya, katanya, dia akan menikah. Tapi, karena mendadak ditugaskan, semuanya batal. Tahun lalu, di baraknya, tengah malam buta dia dibangunkan dan berkemas dalam tempo 5 menit, langsung duduk di truk yang telah siaga. Tanpa diberi tahu harus ke mana, Trisno memanggul senjata dan ransel berisi perbekalan seadanya. Yang dia rasakan, tiba-tiba dia dipindahkan ke sebuah pesawat yang segera terbang. Hanya kebisuan dan tandatanya besar yang mengiringi keberangkatan mereka-seperti yang biasa kualami juga.

Setelah entah pindah beberapa kali kendaraan, tahu-tahu dia diturunkan di suatu tempat yang asing baginya. Begitu fajar merekah, tuturnya, dia berada di kolong sebuah jembatan besar dan megah. Baru belakangan dia tahu bahwa saat itu dia berada di kolong Semanggi-Jakarta.

Jakarta, sebuah kota yang selama ini hanya ada di layar kaca televisi (jika dia sempat menonton), saat itu tengah menelannya bulat-bulat. Karena kelelahan, dia tertidur di kolong beralaskan koran dan tripleks seadanya. Dia terbangun karena komandan memberinya aba-aba. Dengan 'nyawa' yang belum sepenuhnya berkumpul, Trisno sudah harus siaga menghadapi lautan masa mahasiswa yang berteriak-teriak riuh. Sebuah batu yang menghantam wajahnya, membuatnya 'sadar' apa yang tengah dihadapinya saat itu.

Cerita selanjutnya adalah cerita kami semua. Siapa yang tak mengerti kelanjutan cerita itu. Saat itulah dia sempat menyaksikan seraut wajah yang dia ingat betul. Wajah seorang kawan sebangku di SD dulu, dan belum lama menghilang dari kotanya. Kabarnya menjadi kuli bangunan, ada juga cerita si kawan menjadi sopir, entahlah, tapi yang jelas Trisno tahu persis bahwa dia tak pernah menjadi mahasiswa. Akan tetapi, di sore itu, wajah itu berjaket biru dan berteriak paling lantang di antara para mahasiswa, dan dengan kegagahannya segera melemparkan bom molotov ke arah barisan Trisno.

Mata mereka sempat beradu pandang dan kedua-duanya tertegun untuk beberapa saat. Lalu semuanya pecah, tumpah ruah dan si kawan menghilang entah ke mana. Korban berjatuhan dan Trisno hanya termangu menyaksikan apa yang baru saja terjadi begitu cepat di depan matanya. Ketika malam tiba, barulah dia merasakan perutnya melilit kosong, karena 24 jam belum terisi apa-apa.

Begitulah kisah Trisno yang malang itu. Malam nahas yang merenggut nyawanya itu, sebetulnya sudah kami duga. Kami sudah mencium di beberapa titik tertentu di batas desa ini, bisa muncul serangan mendadak. Namun, sekali lagi, itu adalah malam nahas dan Trisno tewas, bahkan sebelum sempat mengenyam madu pernikahannya.

Pada hari berikutnya, aku dalam rombongan penyisiran. Kami sempat bentrok dan nyaris terbantai karena posisi kami terjepit. Rombongan orang bersenjata itu segera memberondong rekan-rekanku, sambil berteriak histeris. Salah seorang yang meringkusku sempat melukaiku dengan senjata tajam dan mengejek bahwa mereka tak akan terkalahkan hanya oleh serdadu semacam aku. Namun, sebelum semuanya terjadi, pasukan bantuan datang dan membuat mereka kalang kabut.

Kepada komandan di markas kulaporkan bahwa aku sempat mengenali wajah-wajah orang-orang itu, dan kami putuskan untuk mengadakan serangan mendadak siang itu juga. Sangat mudah menemukan di mana mereka tinggal, dan aku menjumpai seraut wajah yang menorehkan ujung senjatanya ke wajahku. Namun, tak satu pun senjata kami temukan di rumah mereka. Dengan keluguannya dan ketakutannya mereka menyebut diri mereka petani yang tak tahu apa-apa.

Kepalaku mendadak pening dipenuhi oleh rasa marah dan frustrasi. Kucengkeram dia dan kuhempaskan di tanah. Kutunjukkan luka wajahku yang belum lagi kering oleh ujung senjatanya. Dia terkesiap sesaat namun dengan segera mengubah wajahnya menjadi petani lugu yang pasrah pada nasib.

Entah renteten peristiwa apalagi yang kulalui bersama kawan-kawan, aku tak tahu. Bagiku sudah tak ada lagi bedanya mana petani mana pemberontak. Sama saja. Mereka akan membantai manakala kita tak membantainya. Membunuh dan dibunuh hanyalah sebuah kartu remi yang bisa kita mainkan setiap malam. Aku sudah tak begitu percaya lagi pada apa yang disebut kebenaran, karena dalam setiap hirupan nafasku yang ada hanyalah kebohongan demi kebohongan. Entah pada malam yang keberapa aku sudah tak tahu lagi, kumuntahkan timah-timah panas ini kepada gerombolan manusia secara membabi buta. Pertempuran itu merupakan insiden yang tak terelakkan, setelah markas polisi di kecamatan digranat dan beberapa orang yang berjaga tercacah sia-sia.

Aku juga akhirnya menerima nasib bahwa semua pengabdianku adalah sebuah kesia-siaan dengan dipecat tanpa hormat. Kujalani hidupku sebagaimana orang yang pernah menjalani rawat inap cukup lama di sebuah rumah sakit aneh. Kujalani semuanya dengan perasaan kosong dan nyaris tanpa gairah hidup, sampai beberapa hari yang lalu aku menyaksikan berita televisi.

Berita itu menyoroti kebrutalan peristiwa ketika aku terlibat di dalamnya dan yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Salah satu saksi mata yang dengan berhujan tangis berkata di layar adalah orang yang kuhempaskan ke tanah; orang yang menyerangku dengan senjatanya. Rupanya dia sudah menjadi aktor sinetron yang layak mendapat Oscar!

Sejak itu, aku diserang demam dan mual-mual. Nina sempat membawaku ke dokter, tetapi dokter hanya menyarankan agar banyak-banyak istirahat. Dalam hati aku katakan kepada dokter itu bahwa penyakit yang kuderita ini bukanlah bidangnya. Dia terlalu bodoh untuk bisa mengetahui gejala penyakitku. Aku masih bersyukur bahwa aku memiliki Nina dan malaikat kecilku yang saat ini masih asyik tertawa riang di punggung kuda komidi putar itu.

Dalam perjalanan pulang, Ita, malaikat kecilku itu tertidur. Dalam pelukanku dia nyaman, entah bermimpi apa dia kali ini. Nina dengan kekhawatirannya yang belum reda, memeluk pinggangku. Kami berjalan perlahan menuju jalan besar dan mencari kendaraan pulang. Orang masih lalu-lalang dan keramaian masih akan terus berlangsung sampai dua atau tiga jam lagi. Di keriuhan itu, kami berjalan membisu. Aku enggan berbicara dan rupanya Nina tahu dan takut mengajakku bicara.
Aku tengah mempersiapkan sebuah jawaban, bila nanti aku mendapat pertanyaan dari malaikat kecilku yang saat ini belum sekolah ini. Jawaban apa yang harus kusiapkan, apabila dia suatu kali nanti bertanya tentang 'kebenaran' peristiwa yang membawaku ke jalan ini? Dia yang sudah mulai ceriwis bertanya tentang 'mengapa kumbang hinggap di kembang', mengapa bintang berkelap-kelip, mengapa ayah berkumis, mengapa ada orang mati, mengapa ini dan mengapa-mengapa yang lainnya, pasti akan bertanya mengapa ayah membunuh orang. Aku tak tahu pasti jawaban apa yang harus kuberikan. Aku juga tak tahu apakah dia memiliki bayangan tentang apa itu pahlawan dan apa itu pengkhianat.

Pentingkah bagi dia, itu semua?

Kami berjalan dan berjalan sampai menemukan bajaj yang akan membawa kami pulang. Ketika istriku masuk dan siap menerima si kecil dari tanganku, tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah dari mana, empat lelaki bertubuh tegap langsung menyeretku, setelah sesaat sebelumnya menanyai namaku.

Ketika kujawab memang akulah orang yang ditanyakan itu, sebuah pukulan menekuk tubuhku. Lalu tendangan dan entah apalagi menghajarku sampai aku tak bisa merasakan apa-apa lagi, selain suasana tenang menghanyutkan.

Kurasakan diriku mengambang di udara dingin malam. Kusaksikan kuda-kuda kayu putih yang berada di komidi putar itu kini bergerak hidup, bahkan bersayap seperti Pegasus. Anak dan istriku duduk riang di punggungnya dan kuda itu melayang dengan kepakan sayapnya yang anggun, menembus mega-mega. Mereka tertawa, namun telingaku lamat-lamat menangkap isak tangis Nina dan entah suara apalagi.

Tiba-tiba aku menyadari diriku juga sedang berada di punggung kuda kayu yang lain, yang juga tengah membentangkan sayapnya menuju awan kebebasan, entah di mana tempatnya..



< Back >