Hasni's Story Galery


Lelaki yang Muncul Ketika Senja
Cerpen Agnes Puput Chintami

Langit semburat jingga. Angsa-angsa riang bermain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari ke sana ke mari. Dedaunan kering meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan pergi memberi kesejukan bagi hati yang sedih dan kesepian. Sepasang kekasih meminggirkan perahunya lantas turun lalu pergi berdekapan dan berciuman.

Tidak jauh dari tempat itu ada seorang gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang sambil menatap pendar senja di air danau, ia baru menikmati senja di kota itu. Kota kelahiranna yang sudah ia
tinggalkan empat tahun lalu semenjak harus melanjutkan sekolahnya ke sebuah perguruan tinggi di kota lain yang amat jauh letaknya. Sejak kecil ia
memang sering pergi ke tempat itu untuk saling bercerita dengan danau. Bermain dan menatap senja persis seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Ia memang menyukai senja. Tiada teman yang lebih setia
dalam hidupnya selain danau.

Gadis itu tengah memutar-mutar cincin yang terjalin di jari manis kirinya. Kemarin ia baru ditunangkan dengan seorang arsitek. Itulah sebabnya ia pulang dari kota tempat ia kuliah hanya untuk saling melingkarkan
cincin.

“Aku benci pertunangan ini,” ujar gadis itu bergumam sendiri, sungguh aku lebih mencintai angsa-angsa itu daripada lelaki pujaan ayahku.” Bibirnya bergetar, hampir menangis. Ia tidak bisa menolak keinginan ayahnya. Ia memang tidak pernah bisa menolak permintaan ayahnya. Ia seorang anak yang patuh. Langit lembayung merona. Angsa-angsa belum lelah bermain kejaran. Tiga ekor burung bernyanyi-nyanyi di dahan pohon mangga. Dedaunan berdansa diiringi alunan angin dan petikan gitar. Merdu, merdu sekali. Ada yang menarik telinganya, bahwa ada sebuah suara indah
selain desahan angin. Suara yang menyejukan kalbunya. “Siapakah yang memainkan musik seindah suara senja ?” tanyanya mengkerutkan kening. Ia mengamati seorang lelaki tengah duduk di bawah akasia yang tertunduk
serius menggerakkan jamarinya pada senar gitar. Wajah lelaki itu tidak begitu jelas karena sebagian tertutup rambut ikalnya sebahu. Hanya bibir dan ujung hidungnya yang terlihat.

Perlahan-lahan tangan mahir itu menghentikan permainannya. Lelaki itu bersandar pada batang akasia lalu tengadahkan kepalanya. Sekarang barulah jelas raut wajahnya. Matanya terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam, lantas mengeluarkannya sekaligus kemudian membuka matanya. Tertujulah tatapannya ke pendar air danau. Pandangannya jauh, menembus kepada sesuatu yang entah apa. Sorot matanya menunjukan bahwa lelaki itu telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Mata yang memiliki kemisterian. Seperti cinta, ya cinta. Lelaki itu kembali memainkan gitarnya. Kini wajahnya remang oleh pantulan sinar senja. Gedis itu tersenyum penuh arti, hatinya berdansa dengan alunan gitar lelaki yang sama sekali tidak dikenalinya. Mungkin lelaki itu baru tinggal di sini. Atau baru kali ini datang ke sini.

Senja terpoles ungu. Angsa-angsa telah lelah bermain kejaran. Tiga ekor burung telah berpulang ke tempat melepas sayapnya. Angin masih menggerakkan ujung dedaunan.

Gadis itu dengan resah beranjak dari tempat duduknya lantas melangkah menuju rumahnya. Bayangan lelaki itu pun telah lenyap di ujung senja. Danau menjadi sunyi.
**
Langit semburat jingga. Angsa-angsa riang bemain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari-nari ke sana ke mari. Dedaunan kering berjauhan meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan pergi. Gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang sambil menatap pendar senja di air danau. Seperti hari kemarin di sini.

Kini gadis itu merasakan kesepian yang sebenar-benarnya sepi. Sepi yang memenjarakan jiwanya. “Aku ingin bebas seperti angin !”jerit hatinya kepada langit. Menangislah ia, lantas angin menjawabnya. Dihapusnya air mata itu dengan jemarinya setelah suara gitar lelaki kemarin mengalun mengantar senja. Jiwa gadis itu terbelai. Ia amat menyukai lagu lelaki
itu. Sungguh serasi dengan senja. Kini gadis itu tidak sepi lagi. Ia merasakan kedamaian dalam senja. Begitu pula dengan senja berikutnya dan berikutnya, seperti senja yang lalu. Seorang gadis pecinta senja dengan seorang lelaki yang muncul ketika senja, hanya untuk menghibur angin dengan gitarnya. Meskipun mereka tidak pernah bicara untuk saling kenal, namun pendar air danau telah menyatukan jiwa mereka untuk datang kepada senja yang sama.

Senja terpoles ungu. Angsa-angsa telah lelah bermain kejaran. Burung-burung telah berpulang ke tempat melepas sayapnya. Angin masih bergentayangan mengantar malam. Gadis pecinta senja itu duduk di kursi panjang seperti biasanya. Ia menunggu lelaki yang telah memberikan kerinduan baginya. Lelaki yang memberikan senja terindah selama hidupnya. Namun ia tak menemukan lelaki itu senja ini. Padahal besok ia akan pergi ke kota tempat ia kuliah. Sunguh amat kecewa jiwa gadis
itu. Ia telah berniat bahwa senja ini akan bicara kepada lelaki itu untuk saling mengenal. Untuk mengatakan bahwa ia suka dengan lagu-lagu lelaki itu. Ia ingin mengucapkan terima kasih atas segala keindahan yang telah diberikan kepadanya.
**
Meja-meja itu terlihat lengang. Lampu-lampu Jepang belum terlihat terang. Beberapa lilin menyala di tengah-tengah meja. Ada beberapa orang yang
tengah bersantap. Para pemusik tengah memainkan lagu yang gelisah.
“Saya minta steak dangan capucino ,” pinta seorang lelaki kepada pelayan. “Kamu mau pesan apa ?” tanyanya kemudian kepada gadis yang duduk di depannya. “Tequila,”jawab gadis itu acuh tak acuh. Pelayan mencatat pesanan mereka lalu berbalik melangkah.
“Sejak kapan kau suka minum ?” tanya si lelaki.
“Sejak aku iri kepada angin yang bebas.” Pria mengernyitkan kening. Gadis tak menolehnya selirik pun. Pandangannya tertuju kepada cemara boncel yang landai oleh angin.

Sepasang kekasih beranjak dari mejanya. Mereka tertawa cekikikan. Kemudian sepasang orang tua duduk berhadapan, berdekatan dengan para pemusik yang masih memainkan lagu yang sama. Para pengunjung dengan santun datang dan pergi di restoran itu. Sepiring steak, secangkir capucino dan segelas tequila dihidangkan pada meja yang pendar oleh sebuah lilin merah.
“O..ya, bagaimana kalau setelah ini kita mencari gaun pengantin untukmu ? Aku ada kenalan yang..”
“Sudahlah aku tidak mau bicara soal itu !” sela si gadis, lantas meneguk sedikit tequilanya seperti yang biasa dilakukan orang-orang jika minum. Ia masih memegang leher gelas dan menatapnya. “Aku masih kuliah, aku tidak mau buru-buru menikah.” Ia meneguk tequilanya lagi yang kini tinggal setengahnya. Ia melihat senja digelas itu. Betapa ia sangat merindukan
danau yang dihiasi angsa yang bermain kejaran, burung-burung, dedaunan kering yang meliuk-liuk terbawa angin dan lelaki yang telah memberikan senja terindah. Wajah sendu penuh cinta. Betapa ia ingin berjumpa dengan lelaki itu. ”Aku merindukannya,” bisik hatinya. Mata gadis itu berbinar.
Langit jingga. Meja-meja masih terlihat lengang dengan beberapa lilin yang menyala, seperti 20 menit yang lalu. Lampu-lampu Jepang belum menguning.
Tumbuhan di luar landai.

Sebuah musik indah membelai jiwa gadis itu. Ia merasakan keindahan senja yang benar-benar indah. “Musik itu,” tiba-tiba ia sadar bahwa ada sebuah musik yang telah membelai jiwanya adalah musik yang sudah
begitu ia kenali. Musik yang nyata terdengar. “Lelaki senja itu.”Ia melihat seorang lelaki yang dirindukannya pada suatu senja, tengah bermain gitar
di sebuah restoran tempat pemusik-pemusik lalu memainkan lagu gelisah. Gadis itu menatap lelaki yang muncul setiap senja sama seperti tatapannya ketika angin membasuh lehernya di sebuah danau beberapa waktu yang lampau.

Tepuk tangan dari para pengunjung diberikan untuk lelaki senja itu yang telah selesai bermain gitar. Lelaki itu mengangguk mengucapkan terima kasih dengan senyuman. Lantas mata sendunya melirik si gadis pecinta senja dan menatapnya beberapa kejap. Ia pun turun dari panggung, lalu lenyap di balik pintu.

“Aku mencintaimu.” Bisik gadis itu dengan seulas senyum. Pendar senja berkilat pada coklat rambutnya. Kehangatan asmaranya bergejolak. Lagu gelisah mengubahnya. “Aku harus mengejarnya, aku harus bicara padanya.” Gadis beranjak ke luar tanpa mempedulikan pria tunangannya yang hanya melongo. Gadis itu sudah berada di trotoar di depan restoran, ia memaling-malingkan kepalanya. Dilihatnya lelaki senja itu telah jauh berjalan ke barat, lalu jasadnya pun semakin mengecil tertelan senja. Si gadis hanya mematung tak mengejar. Ia yakin esok lelaki itu akan muncul kembali ketika senja seperti saat-saat yang lalu. Untuk memberikan senja terindah dalam hidupnya.

Adakah jingga yang lebih indah selain jingga ketika senja ?

***



< Back >