Ketika para perempuan di bagian Barat negeri itu sudah boleh bicara tentang hak asasi manusia sambil berarak-arak dan teriak-teriak di sepanjang kota, kepadanya justru datang seorang laki-laki yang lantas memperkosanya. Tidak ada suara teriakan, hanya angin malam yang dingin masuk dari pintu yang terbuka dan terasa bagai sebilah belati mengiris-iris tubuhnya bersama rasa sakit yang tidak terkatakan dio bagian mana dari jiwanya setelah lelaki itu pergi. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa pertolongan siapa pun di bekas kandang kuda, tempat dia dikucilkan keluarganya karena aib yang tumbuh di dalam rahimnya itu. Di tumpukan jerami kering dan bau amis kecing dan kotoran kuda, di sampingnya puluhan tikus berselewiran sambil mencericit mencium amis darah ketubannya, bayi merah itu dipeluknya erat-erat.
Sebulan kemudian segerombolan laki-laki bertubuh kekar datang bersama kuda mereka dan mendobrak pintu kandang kuda tempat ia dikucilkan, lantas meraih bayi yang sedang berbaring di dadanya. Seperti sebelumnya, ia hanya diam dan baru menangis tanpa suara ketika gerombolan berkuda itu pergi membawa anaknya.
Sembilan belas tahun kemudian, ketika ia sedang di beranda rumah memandang jauh ke hutan belantara yang menyembunyikan sebuah perkampungan para pemberontak di dalamnya, tiba-tiba seorang pemuda -- mengaku bernama Pedro -- muncul di hadapannya. Kemudian berteriak memanggil ibu kepadanya, sambil berlutut di kakinya. Seperti sebelumnya, ia diam saja dan seolah-olah tidak terpengaruh dengan kehadiran pemuda itu. Matanya lurus ke depan, memandang hutan belantara di kejauhan yang menyembunyikan perkampungan para pemberontak itu.
"Aku Pedro, Ma. Akulah anak yang direbut dari pelukanmu belasan tahun lalu. Aku baru tahu soal ini, lantas kabur dari perkampungan mereka." Pemuda itu diam sebentar, melihat reaksi perempuan itu. "Ma, aku anakmu. Anakmu, Ma. Aku menyesali semua masa lalumu, aku akan menjagamu, Ma."
Perempuan itu tetap diam, tapi bola matanya yang basah mulai menatap pemuda itu. Tiba-tiba saja sebuah senyuman terbentuk di bibirnya yang keriput, lantas meminta pemuda itu agar berdiri. Kemudian dipeluknya tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya yang mengucur begitu deras. Mengalir di garis-garis ketuaan yang terbentuk pada kulit wajahnya, dan menetes dari dagu sampai di ubun-ubun pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum dalam pelukan perempuan tua itu. Dari balik pinggang ia keluarkan sebilah belati, lalu menancapkannya di punggung perempuan itu, yang lantas tersentak kaget. "Kau..." Perempuan tua itu rubuh dengan sorot mata yang menyimpan rasa iba. Pemuda itu lantas tertawa, tapi mendadak terdiam begitu mendengar rintih terakhir perempuan itu. "Kau... Kau..., anakku."
Tubuh pemuda itu bergetar. Belati di tangannya mendadak terlepas, jatuh tepat di ujung sepatunya. Tiba-tiba saja ia bertriak histeris, menyentakkan puluhan lelaki berkuda yang mendadak keluar dari persembunyiannya di balik rumah penduduk. Seseorang mendekatinya kemudian, lantas menepuk pundaknya. "Mari kita pulang, Pedro. Tugasmu sudah selesai," katanya.
***
Menjelamg malam, rombongan Pedro tiba di perkampungan para pemberontak. Puluhan orang bersenjata menyambutnya dengan suka cita, menggiring kudanya ke tempat penambatan. Tapi Pedro diam saja, bahkan ketika Gustamego muncul bersama Alberto -- para pemimpin pemberontak yang sangat dihormati di perkampungan ini -- dan, Eduardom -- pemimpin lain yang selama ini banyak tinggal di luar negeri.
"Kau sudah melaksanakan tugasmu, Nak," kata Gustamego sambil membimbingnya ke sebuah kemah yang paling besar dari sekitar lima belas kemah di perkampungan itu.
Pedro tetap diam, mengikuti langkah Gustamego -- orang yang selama ini selalu dipanggilnya ayah. Alberto, Eduardo, dan beberapa orang lainnya mengikuti dari belakang, berkumpul dalam kemah itu. Mendadak muncul Sandra, satu-satunya perempuan di perkampungan itu, sambil membawa minuman. Satu per satu gelas dituangi, satu per satu tangan terjulur meraih, kecuali Pedro.
Pemuda itu justru terkenang pada sorot mata perempuan yang baru dibunuhnya. Entah mengapa, Pedro merasakan sesuatu yang hangat memancar dari bola mata itu, yang membuat tubuhnya mendadak begitu tenang. Dan kini, tubuh Pedro gemetar amat hebat, lalu menatap tajam satu per satu orang yang berkumpul dalam kemah itu.
"Jujurlah padaku, Papa. Siapa perempuan itu sebetulnya?" tiba-tiba saja pertanyaan itu diajukan Pedro, membuat suasana jadi hening. Semua mata menatap Gustamego, kemudian menatap Pedro silih-berganti.
Gustamego tersentak dan merasa dipojokkan, lantas mendamprat Pedro. "Tidak seorang pun di sini boleh tahu siapa yang menjadi korbannya, tapi hanya boleh melaksanakan tugasnya. Ini sudah peraturan, siapa pun tidak boleh mendebat," tegas Gustamego, kemudian diam. Menahan gejolak dalam dadanya, yang seketika bergemuruh begitu hebat.
"Aku melihat matanya sebelum meninggal. Aku menemukan kehangatan pandangan seorang ibu di sana."
"Kau tahu apa soal ibu. Tidak seorang pun di sini yang punya ibu."
"Aku manusia, Papa."
"Semua orang di sini manusia."
"Tidak. Bukan manusia kalau tidak merasakan hangatnya tatapan seorang ibu."
"Tutup mulutmu."
"Aku tidak mau lagi di sini. Aku muak dengan siatuasi seperti ini."
"Lantas mau apa?"
"Aku keluar dari situasi ini."
Pedro berdiri, keluar dari kemah. Teriakan Gustamego menyuruhnya berhenti tidak diperdulikannya. Pedro tetap berlari menuju tempat penambatan kuda. Tapi, dua orang lantas menahannya. Mengacungkan moncong senapan ke arahnya. Pedro mendelik, menepis moncong senjata itu. Salah satu direbutnya, tapi moncong senjata satunya lagi mengarah ke punggungnya. Pedro membalik, menghantam orang itu dengan popor senapan. Tapi orang itu mengelak, memberikan perlawan. Perdro makin marah, lantas menembaknya.
"Bangsat kau, Pedro!" teriak Gustamego, dan berlari menyongsongnya.
"Berhenti, atau kutembak!" Pedro mengacungkan senjatanya.
Gustamego tidak perduli, tetap mengejarnya. Tiba-tiba saja senapan di tangan Pedro meledak, tubuh Gustamego terjungkal. Sebutir peluruh tembus di dadanya.
Melihat hal itu, para pemberontak mengokang senapan dan menembak Pedro. Sebutir peluruh tembus di lengannya. Tapi Pemuda tidak gentar, lantas berlari mencapai kudanya. Para pemberontak memberondonginya dengan peluiruh ketika Pedro berhasil memacu kudanya keluar dari hutan.
***
Malam telah tiba. Kuda Pedro merobek kegelapan. Luka pada lengan Pedro makin banyak mengucurkan darah. Puluhan orang di belakangnya terus mengejar. Pedro memacu kudanya lebih cepat. Tujuan Pedro satu, keluar dari kawasan hutan. Memasuki perkampungan, dan mendatangi perkemahan tentara pemerintah.
Tapi, kegelapan membuat Pedro tidak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba Pedro terjatuh setelah menabrak sesuatu. Pedro merasakan sakit yang sangat pada dadanya. Kepalanya pusing. Dilihatnya kudanya terus berlari.
Rombongan yang mengejarnya makin mendekat. Pedro bersembunyi di balik semak belukar sambil menyiapkan senapan di tangan. Rombongan pengejar lebih dekat, lantas lewat mengejar kudanya. Pedro menghela nafas lega, lalu merayap ke pusat kota. Mendatangi perkemahan tentara pusat.
Sudah bulat tekadnya menyerahkan diri. Daripada dikejar-kejar bayangan tatapan mata perempuan itu. Tapi, begitu Pedro memasuki wilayah perkemahan tentara pusat, tiba-tiba seseorang membentaknya.
"Siapa?"
"Pedro. Aku mau menyerahkan diri."
"Pedro!?" Orang itu tidak percaya. "Pedro, komandan tempur pemberontak itu?"
"Ya. Aku mau menyerahkan diri. Aku khilaf selama ini."
Orang itu tersenyum. Tiba-tiba dia diam sebentar, lantas menyeret Pedro ke semak-belukar. Pedro tidak bisa melawan, tubuhnya lemah kehabisan darah. Bahkan ketika orang itu mengacungkan moncong senapan ke arah dadanya, Pedro hanya bisa memejamkan mata. Mendadak ia lihat wajah perempuan itu berkelebat. Ia lihat mata yang berair itu, tertuju kepadanya. Dan, ketika senapa itu pun meledak, Pedro tersenyum sambil menutup mata.
Puluhan tentara pusat keluar dari kemah, tiarap di sekitar kemahnya sambil mengarahkan moncong senapan ke arah suara ledakan. Orang itu pun muncul menyeret menyeret mayat Pedro dari kegelapan semak-belukar.
"Aku telah membunuhnya. Aku pergoki ia mengendap-endap di sekitar perkemahan kita."
"Siapa itu?" tanya Letnan Jumadi, komandan regu.
"Pedro. Aku mengenali betul sosoknya dalam kegelapan."
Para tentara pusat mendekat. Memastikan mayat orang yang mereka buru selama ini. Dan orang itu disanjung-sanjung, diarak di wilayah perkemahan. Besoknya, Letnan Jumadi mengumumkan akan memberinya kenaikan pangkat.
Dua hari kemudian, berita kematian Pedro -- komandan tempur pemberontak -- masuk dalam surat kabar pusat. Gustamego membacanya, ketika salah seorang pemberontak yang disusupkan ke pemerintah pusat datang membawa koran tersebut, dan termenung. Dia teringat kejadian puluhan tahun lalu, perempuan yang diperkosanya, sampai pada Pedro. Air matanya mengalir deras.