Hasni's Story Galery


Menara Korek
Cerpen Mariana

Seperti pagi-pagi sebelumnya, lelaki tua itu termangu di ujung jalan ini. Ia tampak begitu lusuh. Di hadapannya, teronggok sebuah bungkusan kantong plastik berwarna hitam dan sebuah kaleng bekas susu dengan mulut menganga. Aku tidak pernah tahu untuk apa sebenarnya kaleng itu. Aku tidak pernah—dan rasanya tidak ingin—menanyakan untuk apa sebenarnya kaleng itu. Namun, seperti juga hari-hari sebelumnya, dengan pasti kumasukkan sekeping logam seratusan ke dalamnya seolah-olah memang itulah fungsi kaleng itu.

Aku tidak ingat sejak kapan persisnya lelaki itu duduk di sana. Yang pasti kurang dari dua tahun karena ketika aku mulai kos di daerah ini dua tahun yang lalu, ia belum ada (atau aku tidak menghiraukan keberadaannya?). Aku baru melihatnya pada suatu pagi ketika sekeping uang terjatuh dari kantong celanaku. Logam senilai seratus perak itu terus menggelinding menuju tempat lelaki itu duduk. Ia segera menangkupkan kaleng susunya untuk menangkap logam itu. Alih-alih mengambil kembali uangku, aku malah meninggalkannya dan menyimpulkan lelaki itu sebagai pengemis yang gila atau orang gila yang mengemis. Sejak itu pula aku rutin melempar uang ke kaleng bagai seorang Shaq O’ Neal memasukkan bola ke keranjang.

Lelaki itu tersenyum begitu melihatku dari kejauhan. Ia terus memandangku seperti seorang Monalisa kepada penikmatnya. Tidak ada yang tahu maksud tatapannya, tidak juga aku (dan seperti kukatakan tadi, aku memang tidak mau tahu!). Mungkin ia mau berterima kasih atas keping logam itu. Entahlah. Yang pasti, aku telah melihatnya dan kulemparkan sekeping logam untuknya. Setelah beberapa langkah, ia memanggilku. “Hei !”

Aku tidak menoleh. Ia mengulangi panggilannya sekali lagi, “Hei Hei !”

Aku menoleh.

“Kau pikir aku butuh seratusanmu itu?” Ia tersenyum sinis sambil kakinya menendang kaleng susu di hadapannya.

Aku memandang heran dengan mulut setengah terbuka.

“Kau pikir dengan seratusanmu itu kau bisa membuat mimpiku menjadi nyata?”

Aku memandangnya takjub. Aku tak pernah menyangka ia akan bereaksi seperti itu. Ia terus menuding-nudingkan jarinya dan berbicara tidak karuan. Tiba-tiba ia melemparkan bungkusan plastiknya ke hadapanku. Ternyata isinya sejumlah kardus korek api. Aku makin heran dan menunggu reaksi selanjutnya. Ia lalu tertawa keras-keras. Aku melangkah pergi.

***

Sepulang dari kantor, aku kembali melalui jalan yang sama seperti waktu berangkat. Tidak seperti biasanya, kali ini lelaki itu duduk sambil mengerjakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang sedang dibuatnya. Ia tampak begitu tekun. Melihat aku pulang, ia bangkit dari duduknya dan menyapa. Kali ini ia menyambutku ramah.

“Aku ingin mengambil bulan,” katanya. Sambil memandang langit ia melanjutkan ceritanya, ” Aku mau mengambil bulan karena harganya mahal. Kau boleh minta sedikit kalau mau.”

“Yah, ambillah sesukamu dan sisakan aku sedikit,” jawabku tak peduli.

“Baiklah. Kalau kau juga mau, kau harus bantu aku. Aku akan membuat menara dari kardus korek api ini. Kau harus ikut mengumpulkan bahan-bahannya. Jangan lagi kau beri aku logam tak bergunamu sebab tidak setiap hari penjual korek lewat sini.”

“Aku bisa membantu mengumpulkan kotak korek yang banyak kalau kau mau. Tapi tidakkah kau butuh makanan?”

“Kau tenang sajalah ‘nak. Lihat tiga anak kecil di lampu merah itu? Mereka adalah anak-anakku yang siap menyediakan segala kebutuhanku. Kami semua punya tujuan yang sama. Memiliki bulan. Ha ha ha…” Lelaki itu pergi menjauhiku. Hanya suara tawa bernada mengejek di telingaku.

Hari mulai gelap. Dengan langkah bergegas, kutinggalkan lelaki itu.

***

Suara adzan subuh menandai dimulainya kehidupanku yang monoton. Bangun tidur, shalat subuh, mandi, ke kantor, pulang lalu akhirnya tidur lagi untuk memulai hari yang sama keesokkan harinya. Segalanya berjalan sama, serba datar. Seperti mesin pencetak barang. Tidak ada hal-hal aneh. Tak ada yang nyeleneh. Persis. Lucunya, banyak orang berusaha untuk mencapai kehidupan seperti ini. Sekolah bertahun-tahun untuk mendapatkan apa yang aku alami kini. Kangen juga sebenarnya untuk menghadapi hidup penuh gejolak. Dan pagi ini keinginan itu terkabul!

Seperti pagi pagi sebelumnya saat akan pergi kerja, aku menyiapkan logam seratus untuk lelaki tua itu. Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Tidak ada yang mengharuskan aku melakukannya. Tapi akan aneh sekali rasanya bila tidak memberinya uang. Mungkin aku penderita obsesif-kompulsif. Entahlah, tapi biar saja. Tidak lupa kusiapkan pula beberapa kotak korek seperti yang diminta. Biarlah kotak korek itu demi dirinya dan logam seratus itu demi diriku.

Dari kejauhan aku melihat tempat lelaki tua itu biasa mangkal dikerumuni oleh orang banyak. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. Sesuatu terjadi, pikirku. Aku segera berlari menghampiri. Di hadapanku, berdiri sebuah menara setinggi kira-kira satu meter. Agak mirip dengan menara Istiqlal, rasanya. Hanya saja yang di depanku terbuat dari kardus korek api dan belum memiliki atap. Melihat konstruksinya, orang pasti menyimpulkan bahwa arsiteknya bukanlah orang sembarangan. Menara itu dibangun dengan kardus-kardus yang disusun rapi dan direkatkan dengan butiran nasi yang dilumatkan. Alasnya berbentuk lingkaran dengan diameter sepanjang 60 centimeter. Setiap beberapa tumpuk diselingi alas yang mencuat ke luar melebihi luas lantai yang mengapitnya. Mungkin ini akan dijadikan anak tangga tempat kaki berpijak.

Lelaki tua itu terkekeh-kekeh kepada orang banyak. Ada rasa bangga di wajahnya. Lelaki itu mengangsurkan kantong plastik hitam untuk meminta tambahan kotak korek tanpa berkata-kata. Ketika sampai dihadapanku, ia terdiam sebentar untuk kemudian kembali terkekeh-kekeh. Kali ini lebih keras disertai tepukan lembut pada punggungku. Tiba-tiba secuil rasa bangga menyelinap di rongga dada. Aku merasa berhak mendapat pujian juga. Menara itu milikku juga, pikirku.

Berminggu-minggu lewat, menara itu bertumbuh semakin tinggi. Hanya saja, bagian atas menara itu tampak agak doyong. Seperti mau jatuh kelihatannya. Berkali-kali aku usulkan untuk merombak kembali bagian yang agak doyong itu, berkali-kali pula lelaki itu hanya tertawa saja. Ia malah sesumbar bahwa bagian atas menara itu ditumpuk tanpa lem! Untuk membuktikan kehebatannya, ia lalu memanjat menara itu sampai ke puncak.

Lelaki itu terus memanjat dan memanjat sambil tertawa-tawa. Ia terus tertawa dan tertawa sampai suaranya tak terdengar. Sampai akhirnya ia kembali dengan guratan kecewa di wajahnya. “Masih kurang beberapa tumpuk lagi,” katanya dengan sedih. Ia memanggil tiga anak kecil yang katanya memiliki mimpi yang sama dengannya. Dititahkannya tiga anak itu untuk mencari kotak korek api sebanyak-banyaknya.

“Tapi aku ingin menginjak puncaknya dulu. Sebentar saja” pinta si anak tertua.

“Boleh. Pada saatnya nanti, akan kuserahkan menara itu untukmu. Untuk kalian,” bujuk lelaki tua itu.

“Tidak, kami mau sekarang!” kali ini anak tengah angkat bicara.

“Kalian masih kecil. Kalian belum tahu bagaimana keadaan di atas sana. Kalian perlu seseorang yang dapat memandu kalian mencapai puncak. Nah, sekarang biarkan aku yang memeriksa keadaan di puncak sementara kalian mencari kotak korek yang kita butuhkan.” Lelaki tua itu mulai hilang kesabaran. Volume suaranya meninggi. Ketiga anak itu tampak ketakutan.

Menjelang malam, menara itu tampak telah bertambah tinggi beberapa meter. Dari kamar kosku yang sempit ini, kulihat puncak menara itu bergoyang-goyang tertiup angin. Ada kecemasan menyergap. “Menara itu milikku juga,” bisikku perlahan. Segera kuberlari keluar untuk mencegah keruntuhan menara itu. Belum sampai ujung kakiku di ambang pintu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Kupercepat ayunan langkah menuju menara. Ternyata, menara itu telah berganti rupa. Di hadapanku sekarang tinggallah segunung kotak korek api di tempat menara dahulu berada. Di sebelahnya, berdiri tiga anak kecil yang biasa membantu mencari kotak korek. Ketiga anak itu sedang memutar sebuah kincir angin besar sambil memandangi lelaki itu tanpa ekspresi. Lelaki tua itu menjerit dan menjerit sambil berguling meratapi menara koreknya. Lelaki itu bertambah gila.



< Back >