Hasni's Story Galery


P e n s i u n
Cerpen Budi Hutasuhut

Burhan memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala desa. Sudah tigapuluh tahun ia memegang jabatan itu. Selain disebabkan usianya sudah tua dan seharusnya memang sudah pensiun, pengunduran diri itu juga lantaran unjuk rasa masyarakat di Balai Desa yang menuntut agar ia mundur. Ia tahu mereka melakukan itu karena dibayar Maryono, ketua LKMD, meskipun tidak pernah mengetahui secara pasti apakah dirinya benar-benar telah menyalahgunakan jabatan seperti yang mereka tuduhkan. Tapi ia justru bersyukur, lantaran ada yang unjuk rasa, ia jadi punya alasan kuat untuk mengundurkan diri.

Sudah sejak lama Burhan ingin berhenti sebagai kepala desa. Namun, setiap kali masa jabatannya habis dan harus dilakukan pemilihan kepala desa baru, selalu saja Maryono memintanya agar kembali menjabat dengan alasan masyrakat menghendakinya. Karena sudah terlanjur berjanji kepada dirinya sendiri bahwa seluruh tenaga dan pikirannya akan diserahkan bagi kepentingan masyarakat desa, ia tidak bisa menolak bujukan Maryono itu.

Begitulah dua bulan lalu, ketika masa jabatannya usai, Maryono mendatanginya dan minta agar bersedia menjabat kepala desa lagi. Alasan Maryono selalu sama, dan ia tidak bisa membantahnya, tapi ia tidak pernah berpikir Maryono ternyata punya niat licik. Hamidah, istrinya, sudah mengingatkan tentang niat licik yang ada di balik kebaikan Maryono. Bahkan, perempuan yang sudah dinikahinya selama tigapuluh dua tahun itu, melarang dan menyuruhnya agar pensiun saja karena usianya yang sudah enampuluh tahunan dan tidak memungkinkan lagi untuk bekerja keras. Tapi, tanpa sikap seolah-olah ia sangat ambisius dengan jabatan kepala desa itu, dijelaskannya kepada Hamidah bahwa masyarakat desa memang masih membutuhkan tenaga dan pikirannya.

"Sebelum jabatan kepala desa saya pegang, desa kita ini termasuk desa tertinggal yang terisolir. Tapi sekarang, jalan-jalan sudah dibangun meskipun tidak sebagus jalan di kecamatan, dan banyak kendaraan yang masuk membeli hasil pertanian. Semua itu telah membuat kesejahteraan masyarakat meningkat sedikit demi sedikit," katanya.

Tapi setelah Burhan mengundurkan diri, Hamidah senang bukan main. Ia merasa sisa usianya bisa dihabiskan bersama suaminya dengan tentram, tanpa kedatangan siapa pun untuk mengeluhkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Tentu saja Hamidah masih kurang yakin ketentraman itu akan didapat mengingat pengunduran diri suaminya berkaitan dengan unjuk rasa warga. Sebuah kesan yang tidak baik, seolah-olah selama menjabat kepala desa, suaminya telah melakukan penyelewengan yang tidak bisa ditolelir. Meskipun Hamidah tahu semua itu bohong dan hasil rekayasa Maryono, tapi susah meyakinkan masyarakat yang terlanjur gampang mencibir dan menggunjingkan semua harta yang dimilikinya sebagai hasil korupsi.

Hamidah minta kepada Burhan agar mereka meninggalkan desa itu. Burhan pun memboyong keluarganya meninggalkan hiruk-pikuk desa yang terletak di balik bukit itu. Mereka tinggal di sebuah rumah bergaya khas tradisi Lampung yang dibangun di atas sebidang tanah warisan almarhum ayahnya. Kebun kopi itu diberikan kepada Husin selama ini untuk dirawat diambil hasilnya. Burhan memutuskan menghabiskan waktu dengan mengurusi kebun kopi dan lada di atas tanah itu. Menurut cerita orangtuanya, rumah itu berusia puluhan tahun, bahkan lebih tua dari usia Burhan. Konon, rumah itu sudah ada di zaman Radin Intan II. Bahkan, Radin Intan II pernah menginap di sana dalam pelarian dari kejaraan tentara Hindia Belanda. Cuma rumah itu agak kurang terurus karena Burhan sebagai satu-satunya ahli waris terlalu sibuk dengan urusan sebagai kepala desa. Tapi kebun kopi dan lada itu tetap dirawat, itu pun karena dikontrakkan kepada Husin.

Tidak sulit bagi Burhan memboyong keluarganya pindah dalam waktu singkat. Sejak anak-anak mereka sudah berumah tangga dan tinggal di kota lain, otomatis cuma Burhan dan Hamidah di dalam rumah. Sedangkan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari seperti memasak dan mencuci, ditangani oleh Maysaroh. Anak gadis usia sembilan belas tahun ini sudah seperti anak sendiri bagi mereka, karena sudah ikut dengan mereka sejak bayi bersama Jubaidah, ibunya. Jubaidah mereka angkat menjadi pembantu karena suaminya, Tarman, yang pemabuk meninggalkannya entah kemana dalam keadaan hamil tua. Tapi Jubaidah sudah lama mati dengan cara meminum racun karena tidak ingin kembali kepada bekas suaminya yang datang tiba-tiba dan mengeluarkannya dari rumah Burhan dengan paksa. Sejak itu Maysaroh mereka asuh karena Tarman sendiri menghilang setelah mengetahui Jubaidah bunuh diri.

Sedangkan untuk urusan kebun, Burhan membayar buruh harian. Kesibukannya cuma ketika musim panen tiba, membayar upah buruh tiap hari, dan membeli kebutuhan pupuk ke pasar kecamatan. Sehari-harinya, Burhan mengurusi tanam-tanaman di halaman rumah, kemudian duduk-duduk di serambi sambil menikmati kicau burung kepodang di kejauhan hutan, atau mencandai perkututnya agar berkicau. Ada kesenangan tersendiri baginya mendengar kicau burung itu setiap kali ia memainkan jemarinya.
Sejak Burhan pindah, otomatis Husin harus menyingkir. Sejak itu Husin menganggur. Setiap kali ia berada di rumah, istrinya yang cerewet, Rayani, menyuruhnya agar mencari kerja. Bahkan, Rayani mengancam akan mengajukan gugatan cerai bila dalam waktu dekat Husin tidak mendapat pekerjaan tetap. Karena diancam seperti itu, Husin menemui Maryono yang pernah berjanji akan mempekerjakannya di kilang padi miliknya bila bersedia mengadakan unjuk rasa di Balai Desa. Begitu keinginan tersebut dibicarakannya, Maryono tertawa ngakak. Katanya kepada Husin: "Tidak ada lowongan lagi. Saya malah berencana mau mengurangi karyawan."

Maryono juga menambahkan, bahwa usaha kilang padinya mengalami kebangkrutan dalam dua bulan terakhir. Pasalnya, sulit mendapatkan gabah yang rendemannya 60 persen dengan harga yang murah, karena kualitas hasil pertanian cenderung menurun setelah pemerintah mencabut subsidi pupuk. Selain itu, pedagang pemborong dari luar daerah berdatangan setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan hasil bumi yang bisa lintas sektoral, sehingga petani cenderung menjual hasil panennya kepada mereka karena berani membeli gabah sesuai hraga dasar gabah (HDG) yang ditetapkan pemerintah. "Harga yang saya tetapkan selalu di bawah harga mereka, sehingga saya tidak pernah kebagian gabah yang bagus," katanya.

Tampaknya Maryono masih ingin melanjutkan kalimatnya ketika Husin mohon diri dengan wajah yang kecewa. Dalam perjalanan pulang ia teringat omongan istrinya dan membatalkan ke rumah. Ia bertekad harus mendapat pekerjaan yang pasti hari ini juga, lalu terpikir olehnya untuk menemui Kong Alui. Siapa tahu pabrik pengolahan tepung tapiokanya masih membutuhkan tenaga kerja tambahan, setelah industri skala menengah itu kabarnya mendapat bantuan dana dari pemerintah.
Ia utarakan keinginannya itu kepada Kong Alui yang sedang bermain dengan seekor anjing pudel kesayangannya di halaman rumahnya yang luas. Anjing kecil berbulu lembut itu menggonggong ke arahnya sebelum Kong Alui bicara.

"Sungguh, Kong. Cuma Kong Alui yang bisa membantu saya. Saya bersedia bekerja apa saja, bahkan di bagian tukang kuras bak limbah pun saya mau," katanya. Kong Alui menolak dengan nada bicara yang teramat santun. Katanya, lowongan pekerjaan sudah tidak ada lagi, karena pabriknya sedang kolap akibat harga tepung tapioka yang menurun. Pasalnya, berbagai jenis industri skala besar yang memanfaatkan tepung tapioka sebagai bahan baku makin menurun kinerjanya karena kebijakan ekonomi kerakyatan yang dibuat pemerintah. Bahkan Kong Alui menambahkan, dia berencana mau menutup usahanya dan mengembangkan usaha peternakan burung walet. Kemudian Kong Alui bercerita tentang potensi usaha peternakan burung walet karena harga sarangnya jutaan rupiah, disamping merupakan barang produksi ekspor yang dibutuhkan sekian banyak dunia industri. "Bayangkan kalau semua burung walet yang ada di Lampung ini bersarang di tempat saya, berapa ton sarang burung walet yang akan saya panen setiap bulannya," kata Kong Alui.

Kong Alui terus bercerita tentang potensi usaha yang akan dikembangkannya itu, bahkan ia berencana mau merakit mesin pencetak sarang burung walet untuk diekspor. Dengan mesin pencetak itu, kata Kong Alui, sarang burung walet habis dipanen dan masih kotor, bisa dibersihkan sehingga cocok untuk komoditi ekspor. Tapi, sebelum Kong Alui menyelesaikan omongan tentang mesin pencetak sarang burung walet itu, Husin buru-buru pamit. Kong Alui menyuruhnya agar bersabar sebentar karena ia belum selesai bercerita, tapi Husin menggeleng. Anjing pudel itu menggonggong mengikuti langkah Husin keluar pagar rumah dari besi setinggi satu setengah meter itu.

"Untuk apa mempekerjakan penduduk asli. Mereka lebih banyak menuntut upah daripada bekerja. Bekerja pun sering serampangan dan merugikan perusahan. Ya nggak, Beti," kata Kong Alui kepada anjing pudelnya. Anjing berbulu warna kuning itu mengonggong, dan Kong Alui tersenyum. "Memang jauh lebih memuaskan memelihara anjing."
Husin sangat kecewa karena tidak mendapatkan pekerjaan itu. Tiba-tiba ia berpikir untuk mendatangi Burhan ke kebunnya. Siapa tahu Burhan mau mengangkatnya jadi pengurus kopi atau lada, karena selama ini ia sudah berpengalaman mengurusinya. Ketika bertemu dengan Burhan, ia utarakan keinginannya itu. Tidak lupa ia minta maaf telah ikut-ikutan unjuk rasa, kemudian menceritakan rahasi tentang Maryono yang membayar orang untuk mengdakan unjuk rasa itu.

"Saya sudah tahu soal itu. Tapi, yang saya tidak ketahui, kenapa kau bocorkan rahasia itu kepada saya. Kau pikir dengan begitu saya akan memberimu pekerjaan? Saya akan memberimu kalau pekerjaan itu ada, tapi di sini tak ada pekerjaan di sini," kata Burhan. "Kalau mau pekerjaan, di kilang padi Maryono kan masih banyak lowongan. Kalau tidak di pabrik tepung tapioka Kong Alui," tambahnya.
Husin menunduk. Tanpa melanjutkan kalimatnya, Husin memohon diri. Tapi Burhan menahannya, kemudian mengingatkan Husin agar melunasi kekurangan sewa kontrak lahan yang baru setengah dibayarnya. Husin mengangguk dan melangkah lesu. Kekecewaan jelas tampak pada warna wajahnya yang memucat. Hamidah muncul setelah Husin pergi. Sejak Husin muncul di gerbang, Hamidah mengintip dari jendela. Begitu duduk, Hamidah merutuki Husin yang tidak tahu berterima kasih. Tapi Burhan menyuruhnya agar jangan memendam dendam terhadap orang lain, karena perasaan seperti itu membuat hati tidak tentram. "Bukankah kita pindah ke mari supaya bisa hidup tentram," katanya.
"Tapi Bapak tadi dendam kepada Husin."
"Saya cuma memberi pelajaran supaya dia tahu membedakan siapa orang yang harus didekatinya. Nanti saya akan panggil dia untuk bekerja di kebun kita."
"Setelah apa yang dilakukannya."
"Peristiwa itu bisa membuatnya menyadari kesalahannya di masa lalu."
Burhan tersenyum kepada istrinya yang mengangguk tidak mengerti.

***



< Back >