Hasni's Story Galery


Rahwana
Cerpen Hilda W

Hal yang kusukai darinya adalah pembawaannya yang tenang serta penampilannya yang bersahaja. Juga setiap kata-kata yang diucapkannya dengan lembut namun jelas, sering membekas dalam pendengaranku. Sejelas bekas jejak kaki di atas lumpur. Karena itulah aku suka berlama-lama didekatnya.

Kepadaku, ia pernah bercerita tentang kisah lahirnya Dasamuka. Yang dibawakannya dengan sangat menarik. Hingga kisah itu sampai saat ini masih membekas. Seperti yang kukatakan sebelumnya, sejelas jejak kaki di atas lumpur. Atau mungkin lebih tepatnya jejak kaki diatas semen basah yang kini mulai mengeras. Begini kisahnya.

Tersebutlah seorang raja yang sudah udzur, hendak mengundurkan diri dari kancah pemerintahan. Ia ingin menghabiskan hari tuanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka dipersiapkanlah Sang Putra Mahkota untuk menggantikan tahtanya. Sayangnya, Sang Putra meski sudah piawai dalam urusan pemerintahan, dia belum punya isteri. Nggak perfect dong, jika seorang raja tanpa didampingi seorang permaisuri. Bukankah ada mitos bahwa isteri adalah kesaktian seorang pria? Mungkin, maksudnya seorang pria akan semakin mantap menjalani hidupnya jika ditemani seorang isteri.

Segeralah dibentuk pansus untuk hunting gadis guna dipersiapkan menjadi The First Lady. Tentu saja gadisnya harus yang qualified. Sehingga keluarlah sebuah nama, Dewi Sukesih. Putri dari Prabu Somali, Raja Alengka. Konon kabarnya sang putri tak hanya cantik jelita tetapi juga cerdas.

"Apakah sampeyan sudah melihat sendiri wujud dari Sang Putri tersebut?" tanya Raja Sepuh kepada utusan yang dipercaya untuk menguntit Dewi Sukesih.

"Sudah, Raja." Sang utusan menjawab.

"Bagaimana?"


"Wah cuantik tenan! Uleng-ulengan! Kulitnya putih. Mulus. Lus! Nyamuk saja sampai kepleset," cerita sang utusan.


Sang Raja Sepuh pun akhirnya berangkat sendiri ke Alengka guna melamar Dewi Sukesih untuk Putranya.

Sesampai di Alengka, setelah Sang Raja Sepuh mengutarakan maksudnya, Dewi Sukesih manggut-manggut. Sebelum bilang: "Yes, I do!" dia punya syarat. Bersedia menikah dengan Putra Raja asalkan kepadanya diajarkan Ilmu Sastrajendra Rahayuningrat. Yaitu sebuah ilmu yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi alam semesta. Siapa pun yang menguasainya, derajatnya akan naik. Jika ia hewan maka derajatnya akan setingkat dengan manusia. Jika ia manusia maka derajatnya akan setingkat dengan dewa. Jika ia dewa… (sudah jangan diteruskan nanti berbuntut panjang). Begitulah.

"Bagaimana Raja? Anda keberatan?" tanya Sang Putri.

"Gak masyalah!" sahut Raja Sepuh seperti iklan sabun cuci. Secara kebetulan di dunia pewayangan hanya Raja Sepuh yang menguasai ilmu tersebut.

"Kalau begitu kapan dimulainya ?" tantang Sang Putri

"Lebih cepat lebih baik."

"Bagaimana kalau minggu depan?"

"Siapa Takut?!" Akhirnya mereka pun berjabat tangan tanda kesepakatan.

Karena ini ilmu spesial, tak boleh sembarangan orang mempelajarinya (dengan gratis, maksudnya). Maka dibangunlah ruangan khusus untuk mengajarkan ilmu khusus tersebut. Yaitu sebuah kamar khusus, yang didalamnya hanya boleh diiisi, (lagi-lagi) khusus guru dan murid.


Sementara itu, nun jauh di kahyangan sana, para Dewa pada ribut. Mendengar bahwa Sastrajendra diajarkan kepada seorang wanita, bukannya isu gender tentunya. Tetapi sekalipun ia cantik dan cerdas, Dewi Sukesih adalah keturunan dari raksasa. Maka diadakan rapat yang hasilnya memutuskan untuk "MENGGAGALKAN!". Dan diutuslah Betara Guru untuk melaksanakan tugas penggagalan tersebut.

"Betara Guru!" panggil Dewa Ketua.

"Dalem!" sahut Betara Guru

"Kutugaskan kau untuk menggagalkan proses belajar mengajar ilmu Sastrajendra, Jangan sampai Cah Ayu kuwi bisa khatam mempelajarinya. Meski sekarang sudah kebacut dipelajari."

"Caranya, Dewa?"

"Terserah! Yang penting gagal!"

"Meski… harus ada korban?"

Dewa Ketua terdiam sejenak, haruskah ada korban? Pikirnya. Tetapi bukankan di dunia ini tak ada yang gratis ? Semua butuh pengorbananan! "Embuh, wis. Piye wae carane sing penting kudu gagal !" putus Dewa Ketua akhirnya.

Betara Guru berpikir untuk mengatur strategi. Dalam perjalanan pulang tiba-tiba, "tring !!" diatas kepalanya muncul lampu menyala. Tanda ia mendapat ide. Sesampai di rumah, dibisiki isterinya yang kemudian manggut-manggut. Hari itu juga berangkatlah mereka berdua ke tempat di mana Sastrajendra sedang diajarkan.


Dengan menggunakan ilmu kesaktian mereka, Betara Guru masuk ke dalam raga Sang Raja Sepuh. Sedang isterinya masuk ke dalam raga Dewi Sukesih. Seketika, berubahlah hubungan antara guru dan murid menjadi hubungan antara dua kekasih. Mereka pun saling jatuh cinta. Dan…

Sastrajendra pun gagal diajarkan, karena sang murid terpaksa harus hamil. Para Dewa di kahyangan bernapas lega. Bahkan ada yang bersorak kecil, pelan maksudnya. Juga sebagian kecil dari mereka berteriak, "Yes !!!" Sambil mengepalkan tangannya. Tanda puas.

Untuk sementara dunia terselamatkan dari kemungkinan terjadinya kekacauan, setelah putri keturunan raksasa itu gagal mempelajari Sastrajendra, karena dia bunting.

Namun kemudian, ia melahirkan seorang anak dengan wajah menakutkan. Seorang bayi berwajah banyak sehingga disebut Dasamuka. Padahal nama pemberian orang tuanya adalah Rahwana. Yang kelak setelah dewasa menjadi penguasa Alengka. Dan keributan yang diciptakannya bisa lebih dahsyat dari perkiraan para Dewa sebelumnya.

Begitulah kisah itu diceritakan kepadaku. Secara khusus. Di ruang yang khusus. Pada moment yang khusus pula. Sehingga pagi harinya saat kuterbangun, aku nyaris berteriak. Tapi tak kulakukan. Yang kulakukan adalah menarik napas dengan mulut terbuka, menganga cukup lama. (Orang terkejut nggak puas cuma bernapas dengan hidung, ia butuh lebih banyak oksigen sehingga menggunakan mulut)

Siapa yang telah masuk kedalam tubuhku semalam ? Siapa yang telah masuk ke dalam tubuh pria pendongeng yang lelap disampingku ? Siapa ? Siapa !!! Bukankah kami tak sedang dalam proses belajar mengajar ilmu Sastrajendra ? Bukankah kami hanya bercerita awal mula kelahiran Rahwana ? Lalu kenapa ? Kenapa jadi begini ?

Kutarik selimut sampai menutupi dadaku. Setelah kusadar kalau aku telah terkupas dari bajuku. Setelah kusadar apa yang telah terjadi semalam.

Aku boleh lega. Karena aku tak hamil dan tak melahirkan seorang Rahwana. Tapi… jangan-jangan…. Pendongeng itu ! Ya, Pendongeng itu ! Jangan-jangan dia itu Rahwana. Tidak ! Dia tak boleh menjadi Rahwana. Aku tak boleh jatuh cinta pada Rahwana. Yang pasti dia adalah Arjuna ! Ya, mudah-mudahan dia itu Arjuna.

Pendongeng itu telah pergi. Tapi seingatku dia berjanji untuk datang kembali. Dan aku ! Dan aku dengan naifnya. Berbekal kesabaran rangkap tujuh. Aku terus menantinya. Kalau kemarin tak datang, mungkin hari ini ia datang. Kalau hari ini tak datang, mungkin besok ia akan datang. Kalau besok ia tak datang…

"Kalau tak datang?" tanya hatiku.

"Mungkin besoknya lagi !" jawabku yakin.

"Kalau dia tak pernah datang ?"

"Kalau dia tak pernah datang…. Mmm, mungkin juga benar, dialah putra sulung Dewi Sukesih itu. Ah, tidak ! Dia pasti datang! Dia kan Arjuna !"

"Kok kamu jadi plin-plan begitu se !"

"Alah ! Arjuna dan Rahwana ‘kan sama saja. Cuma karakter mereka saja yang beda, satunya baik dan yang lain jahat. Tapi mereka juga punya kesamaan ‘kan ?" tanyaku pada hatiku akhirnya.

"Apa itu ?" hatiku penasaran.

"Mereka sama-sama punya gundik banyak !" jawabku mantap. ***



< Back >