Bapak sangat marah. Rumah seakan mau runtuh oleh geramannya. Piring, gelas, televisi beterbangan, dan remuk dengan bunyi kerontangan di dinding tembok. Wajah Bapak sungguh sulit kulukiskan, karena sangat asing. "Siapa yang menjual topeng-topeng itu? Hayo jawaaaaaab!" Raungan kemarahannya kembali menggetarkan udara, membuat loteng berderak-derak saking gugupnya. Sementara matanya berputar-putar mengitari ruangan, menghantam kap lampu dan memecahkan cermin.
Topeng itu. Kami tak pernah tahu sejarah sesungguhnya. Ibu juga tak banyak menyinggung keberadaan benda-benda tersebut dalam rumahnya. Beliau cuma bilang, Bapak mendapatkannya setelah bertapa hampir 50 hari di sebuah gunung di Jawa Tengah. Ibu tidak tahu gunung apa. Kami juga tidak mau tahu. Tapi kami tahu, Bapak sangat menyayangi dan bangga dengan koleksinya itu. Di rumah, Bapak membuatkan sebuah kamar khusus, dengan lemari-lemari kaca khusus, juga AC khusus, dan pembantu khusus untuk topeng-topengnya yang berjumlah ratusan itu. Kata Ibu, Bapak mendapatkan semuanya ketika usiaku masih lima tahun. Kini, di saat umurku sudah hampir 40 tahun, topeng-topeng tersebut masih terawat baik.
Waktu kami kecil, Bapak sering memanggil kami --aku, Ridho, Rita dan Morena-- untuk menunjukkan kegunaan topeng kesayangannya itu. "Ini untuk bertemu Presiden," katanya, menunjukkan sebuah topeng berlidah. Lidah kayu itu panjang sekali, mencapai lantai. "Tanpa topeng ini, jangan harap Presiden mau bicara padamu" Bapak menjelaskan. Kami mangut-mangut saja. Ridho menyikut perutku. "Bagaimana kalau lidah itu terinjak dan Bapak tersungkur menyeruduk perut Presiden?" tanyanya.
Setelah kami beranjak dewasa, Bapak juga menunjukkan topeng-topeng lain, yang kegunaannya berbeda-beda. Ada yang untuk menemui mertua, teman, kenalan, relasi bisnis di Kota, tetangga dekat, tetangga jauh, paman Sujak, Oom Tony, atau Tante Desmaeri, Mbak Oppie, atau Uni Jimmy. Ada pula topeng khusus untuk menemui para menteri, pimpro, dan atasan beliau di kantor. Bahkan untuk ke kantor polisi atau menemui Jendral Anu, Bapak pun punya topengnya.
Tidak semuanya menyeramkan, ada juga yang lucu seperti topeng punakawan barongsai di Padang.
"Itu untuk menemui guru kalian di sekolah. Apa sih yang mereka lakukan sehingga muridnya tawuran melulu?" sergah Bapak.
"Lho, masa dengan topeng selucu itu, Pak? Guruku bisa sakit perut ketawa," protes Ridho.
"Itulah. Kalau gurumu tertawa, berarti dia bahagia. Dengan begitu, dia tak perlu lagi jualan buku ke kalian, dan bisa mengajar dengan baik. Kalian pun akan lupa tawuran, karena lebih suka di kelas mendengar ajaran guru yang kalian hormati itu. Ya, nggak?"
Ridho tak menjawab, dia mengerinyitkan kening. Otaknya memang agak payah.
Sekarang topeng itu hilang. Semuanya lagi! Bapak mengamuk sampai sore. Beliau baru berhenti setelah loteng ruang tengah rubuh, dan menggigil di lantai. Karena kemarahannya diputus dengan cara yang begitu tak lazim, Bapak segera berwudhu dan nyelonong ke mesjid. Kali ini tanpa topeng, padahal ada topeng khusus yang biasa dipakainya ke mesjid. Sebuah topeng polos. Mirip wajah bocah tanpa dosa. "Pakai topeng ini di depan Ustaz, kamu akan disayang," kata Bapak.
*
Sejak kehilangan koleksi topengnya Bapak jadi pendiam. Beliau juga jarang sekali makan. Kopi kesukaannya juga tak pernah lagi disentuh. Biasanya, Bapak akan menghabiskan waktu seharian di kamar khusus itu untuk mengamati atau mengelus-elus semua topeng. Kadang-kadang kami melihat seolah-olah Bapak berbicara dengan koleksinya itu. Sekarang, Bapak hanya berjalan perlahan mengitari lemari dan etalase kaca, tempat dulu topeng-topeng itu berada. Sesekali beliau berhenti dan menatap salah satu rak dengan tatapan yang sangat sedih. Mulutnya komat-kamit.
Lama-lama tubuh Bapak mengurus. Kemurungan yang mendalam menggerus daging dari tubuhnya. Tulang-belulang berbalut kulit keriput bermunculan di mana-mana di seluruh tubuh Bapak. Kami sangat menguatirkan kesehatannya, tapi Beliau tidak pernah mau bicara. Diaaaaam saja seribu bahasa. Beliau juga menolak diperiksa dokter, dan ketika tetangga kami berbaik hati mendatangkan dukun ke rumah, Bapak melemparnya dengan sandal, lalu pingsan kelelahan. Begitu bangun beliau kembali meradang, tapi segera pula pingsan karena daya tahan tubuhnya tidak bisa mengimbangi energi yang dibutuhkan oleh kemarahan tersebut.
Bapak baru mau bicara setelah tubuhnya tak bisa bangkit lagi dari tempat tidur. Lewat bibirnya yang kering kami mendengar ucapan "Topeng…., topeng…., topeng."
Ini membuat kami mulai berpikir untuk mengembalikan lagi semua topeng koleksi Bapak. Tapi, bagaimana caranya? Karena tidak seorang pun tahu ke mana dan di mana topeng-topeng tersebut. Tak seorang pun dari kami yang mengaku mengambilnya. "Aku memang nakal, tapi mencuri tak usah ya!" jengek Ridho ketika kami mencoba menanyainya. Kalau Ridho saja tidak lalu siapa? Maling? Tidak mungkin, karena memang tidak ada tanda-tanda rumah kami dimasuki maling.