Tumpal tak ingat lagi, entah sudah berapa lama ia pandangi mesin ketik di depannya. Sejak tadi belum satu kalimat pun berhasil disusunnya. Bukan karena pikirannya sepi dari gagasan. Banyak. Bahkan banyak sekali. Tetapi entah mengapa, rasa-rasanya kemampuannya merangkai kalimat seperti sudah musnah. Dan yang hampir membuatnya gila, keadaan seperti ini sudah berlangsung puluhan hari.
"Bangsat," rutuknya dalam hati. Disedotnya kreteknya dalam satu isapan panjang. Seolah-olah ia ingin melarutkan ketumpulannya bersama-sama asap rokok yang kini bergulung-gulung ke udara. Tetapi hal itu tak menolongnya. Tumpal bahkan kini merasa seperti seorang penulis pemula saja.
Dulu begitu mudah ia menjalin kata-kata, sehingga dari tangannya banyak lahir puisi dan cerpen. Tumpal ingat, puisi pertamanya yang dimuat di sebuah harian lokal, berhasil mengangkat namanya ke permukaan. Bukan karena puisinya itu merupakan genre baru dalam jagat perpuisian –ia bahkan tak pernah berpikir tentang hal itu. Tetapi puisinya dianggap berbau politis, dan ia harus berurusan dengan aparat keamanan oleh karenanya.
"Dapat menganggu stabilitas keamanan," kata Pak Polisi saat itu. Untung masalahnya tak berbuntut sampai ke pengadilan.
Tetapi Tumpal adalah Tumpal. Peristiwa itu dianggapnya seperti kentut saja.
"Kenapa harus menyesal," ujarnya kepada Krucuk, seorang mahasiswa yang sedang magang reporter pada sebuah media.
"Itulah kesenian, Bung. Kesenian memang bisa berpengaruh besar pada masyarakat. Kesenian juga melahirkan banyak jenis seniman. Seniman bermental tukang yang sekedar cari uang. Seniman salon, mereka ini beronani saja kerjanya. Seniman ekstrem demikian kata orang—mereka ini tak pernah puas dengan keadaan. Ngritik terus. Semuanya itu ada konsekuensinya sendiri-sendiri. Jadi kenapa harus menyesal?" lanjutnya panjang lebar.
Ucapannya itu banyak memancing reaksi. Banyak yang mencacinya. Jumlahnya sama banyak dengan mereka yang mendukungnya. Dan, Tumpal maju terus. Ia tak berubah sejak awal. Seperti air bah tulisannya mengalir deras. Keras. Di panggung dan meja-meja seminar ia bagai magnit. Kalimat-kalimatnya yang menggores keadaan selalu menjadi bagian yang ditunggu-tunggu. Orang-orang menstasbihnya menjadi wakil atas ketidakpuasan mereka pada keadaan. Dan, Tumpal menyadari hal itu. Tetapi ia tak begitu mempedulikannya. Ia merasa bahwa ia hanya sekedar menjalankan kewajibannya belaka. Titik.
Tumpal hanya ingin mengalir saja dalam hidup ini. Ia tak ingin terikat dengan segala falsafah hidup atau prinsip hidup. Tai kucing semua itu, katanya, suatu ketika. Maka ketika tiba-tiba saja ia kawin, orang-orang tak ada yang kaget. Biasa-biasa saja.
"Ia kukenal seminggu lalu dalam sebuah acara diskusi budaya," ujarnya kepada Krucuk sehari sebelum pernikahannya. Krucuk yang kini menjadi sahabatnya itu melongo. Mulutnya menganga. Kombinasi gerakan dua komponen wajahnya itu menampilkan ekspresi tertentu dari perasaan-perasaan tolol.
"Semula aku tak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi istriku," Tumpal melanjutkan.
Krucuk masih melongo.
"Kami hanya berdiskusi saja. Bicara ngalor-ngidul. Sering ia membantahku. Itu yang kusenangi. Ia tak mengiakan semua pendapatku seperti orang-orang tolol dalam seminar-seminar itu. Ia benar-benar kawan dialog yang menyenangkan.
Iseng-iseng suatu saat kuajak kawin ia. Eh, ia malah menentukan harinya. Waktu itu aku hanya bisa melongo saja seperti kau sekarang. Ini. Bajigur...tetapi aku memang hanya ingin mengalir saja. Mungkin itu sudah jalannya. Krucuk besok aku sudah jadi seorang suami."
Kurang dari sepuluh bulan kemudian anaknya yang pertama lahir. Ketika anaknya mulai memasuki usia sekolah Tumpal mulai merasa ada masalah dengan keuangan keluarganya. Semakin terasa ketika anaknya yang kedua lahir dan segera mengikuti jejak kakaknya. Tetapi ia belum serius benar memikirkannya. Sampai suatu ketika –ini di luar perkiraannya istirnya mulai mengeluh.
"Mas, anak-anak butuh seragam baru. Mereka juga perlu membayar-bayar ini dan itu," kata istrinya suatu saat.
Tumpal yang saat itu sedang menghadapi mesin ketik tuanya menoleh sebentar. Tapi ia segera sibuk lagi.
"Kasihan Mas seragam mereka sudah kusam, karena terlalu sering dicuci," lanjut istrinya.
Tumpal masih diam.
"Mas," istrinya mulai tak sabar. "Kau boleh tak peduli dengan dirimu sendiri. Kau boleh bikin puisi atau cerpen sesukamu. Itu hakmu. Tetapi apakah kau juga tak akan peduli dengan anak-anakmu. Mereka butuh makan, Mas. Butuh sekolah. Kau mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak mereka. Mas... selama ini kau juga sedikit sekali memperhatikan aku."
Tumpal terhenyak.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Sejak awal aku sudah siap, kawin dengan seorang seniman tidak sama dengan orang kebanyakan. Harus siap dengan keterbatasan. Hidup apa adanya. Aku juga tahu bahwa aku akan sering kau tinggal. Seminar kok. Diskusi kek. Manggung kek. Tapi aku juga punya batas kesabaran, Mas. Kau seperti tak mempunyai keluarga saja."
Kau juga seolah-olah seperti tak punya niat sama sekali untuk meningkatkan penghasilan, meski kita telah punya anak. Mereka juga punya kebutuhan-kebutuhannya sendiri Mas. Kau boleh mengkritik kiri-kanan depan-belakang dengan tulisanmu. Tapi tolong perhatikanlah juga kami. Aku sebenarnya malu mengatakan ini, Mas," kini istrinya hampir menangis.
Tumpal kembali terhenyak. Kesadarannya seperti digedor oleh sesuatu yang selama ini sedikit pun tak terlintas dalam pikirannya. Ia mengira telah mendapatkan istri yang 100% akan mentoleransi segala keadaannya –konsekuensi pilihan hidupnya sebagai seniman.
"Kalian para seniman selalu menuntut dipahami orang lain. Tetapi kepada keluarga sendiri kenapa tak diperhatikan," kata istrinya suatu ketika.
Ia tak menyalahkan istrinya. Orang memang tak bisa dituntut melebihi batas kesabarannya. Ia seperti baru bisa menyadari keadaan istri dan kedua anaknya kini. Lusuh. Tumpal memang tak peduli bahwa keadaannya sama lusuhnya. Tetapi kini harga dirinya seperti tertonjok ketika menyadari bahwa darah dagingnya sendiri tak terurus. Pikirannya rusuh. Tetapi apa yang bisa dilakukannya. Bangsat. Bisa apa aku sekarang?
Tetapi ia tak perlu terlalu lama menunggu. Krucuk yang kini bekerja di sebuah tabloid hiburan itu menjadi dewa penolongnya. Dibawanya Tumpal menemui pemilik tabloid itu.
"Saya suka kalau Bung mau bekerja kepada kami. Kami sudah tahu siapa Bung. Bung bisa langsung masuk dewan redaksi. Sederhana saja permintaan kami. Bikin tabloid ini menjadi hiburan yang dibutuhkan konsumen. Bung akan kami beri bayaran yang pantas," kata Dwikat, pemilik tabloid itu.
Belum setahun Tumpal bergabung, tabloid tersebut maju pesat. Tirasnya naik tajam. Tumpal benar-benar bekerja keras. Setahun berikutnya Tumpal sudah memegang policy keredaksian. Ia semakin keras bekerja agar tabloidnya bisa memenuhi segala tuntutan pasar. Dan itu memang tak sia-sia. Kehidupannya mulai berubah. Orang kini mengatakan, Tumpal sudah hidup layak.
Kini Tumpal semakin paham apa artinya kompromi dengan pasar. Untuk itu ia telah siap. Ia harus berhitung, setiap tetesan keringatnya harus berarti uang. Kawan-kawannya bilang, idealismenya sudah menjadi masa lalu.
Tetapi ternyata Tumpal adalah Tumpal. Di tengah gerak naik kehidupannya, ia merasa ada yang tertinggal di bawah. Jiwanya terasa kering. Mekanis. Tumpal bahkan seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia merasa menjadi bagian dari sebuah himpunan orang-orang tak bernama yang sedang berkeringat menjalankan sebuah kendaran besar. Kendaraan itu bernama modal. Limbung ia. Tetapi Tumpal tak berdaya.
Tumpal masih mematung di depan mesin ketiknya. Ia sedang berusaha menumpahkan sisa-sisa kepekaannya yang menangkap ketidakseimbangan lingkungannya. Tetapi setelah sekian lama, kertasnya masih tetap kosong. Ia sadar, bahasanya telah dirampok. Dan ia telah dipaksa berbicara dengan bahasa baru, bahasa modal.
Tumpal tiba-tiba merasa lelah. Ia bangkit dan dibukanya jendela. Direnunginya langit malam yang sedikit demi sedikit kehilangan bintang.